Tag Archives: Zulaikha

Muslihat Wanita


Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Wanita, diakui atau tidak, sarat dengan muslihat. Meski kaum pria juga tidak lepas dari yang demikian, perilaku ini lebih lekat kepada kaum hawa. Suka melemparkan kesalahan kepada orang lain, pintar berdalih, dan susah diajak antre adalah contoh sederhana yang banyak kita jumpai.

Mengetahui dan memahami sifat pasangan hidup termasuk perkara yang sudah sepantasnya. Suami mengetahui dan memahami sifat istrinya. Demikian pula sebaliknya, istri mengerti dan memahami sifat suaminya. Selain sifat dan tabiat yang bersifat individu, perlu pula masing-masing pihak mengetahui sifat atau tabiat umumnya seorang lelaki ataupun umumnya seorang wanita. Tujuannya tentu agar masing-masingnya dapat mengambil sikap yang tepat dan semestinya.

Seorang suami harus mengerti bahwa wanita umumnya memiliki muslihat. Walaupun laki-laki juga demikian namun wanitalah yang lebih dominan dalam hal ini. Yang dimaukan dengan muslihat di sini adalah si wanita menampakkan satu perkara namun sebenarnya ia menyembunyikan perkara lain yang justru diinginkannya. Terkadang ia melakukan suatu kesalahan namun ia melemparkannya kepada orang lain. Hal ini tampak jelas pada kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam dengan istri Al-Aziz seperti yang diceritakan dalam Al-Qur`anul Karim. Kita baca bagaimana istri Al-Aziz berbuat kesalahan besar namun Nabi Yusuf ‘alaihissalam yang menjadi “kambing hitam.” Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ. وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلَا أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ. وَاسْتَبَقَا الْبَابَ وَقَدَّتْ قَمِيصَهُ مِنْ دُبُرٍ وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ قَالَتْ مَا جَزَاءُ مَنْ أَرَادَ بِأَهْلِكَ سُوءًا إِلَّا أَنْ يُسْجَنَ أَوْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Dan wanita (istri Al-Aziz) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya kepadanya dan ia menutup pintu-pintu, seraya berkata, ‘Marilah ke sini.’ Yusuf berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku (suami si wanita) telah memperlakukan aku dengan baik.’ Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung. Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud melakukan perbuatan itu dengan Yusuf dan Yusuf pun bermaksud demikian dengan wanita itu andaikan ia tidak melihat tanda dari Rabbnya. Demikianlah, agar Kami memalingkan darinya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan keduanya mendapati suami wanita itu di depan pintu. Wanita itu berkata, ‘Apa gerangan balasan yang pantas diberikan kepada orang yang bermaksud berbuat jelek dengan istrimu, kalau bukan dipenjarakan atau dihukum dengan siksaan yang pedih?’.” (Yusuf: 23-25)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata dalam tafsirnya, “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang keadaan Yusuf dan istri Al-Aziz tatkala keduanya berlomba-lomba menuju pintu. Yusuf hendak lari menghindarkan diri dari si wanita sementara si wanita mengejar meminta Yusuf agar kembali ke ruangan itu. Maka si wanita berhasil menyusul Yusuf lalu menarik gamis Yusuf dari belakang hingga koyak besar. Yusuf terus lari meninggalkan si wanita sementara wanita tersebut menyusul di belakangnya. Keduanya pun mendapati suami si wanita di sisi pintu. Ketika itu keluarlah makar dan tipu daya si wanita, ia berkata kepada suaminya untuk menimpakan tuduhan dusta kepada Yusuf, ‘Apa gerangan balasan yang pantas diberikan kepada orang yang bermaksud berbuat jelek dengan istrimu’, yaitu berbuat fahisyah/zina, ‘kalau bukan dipenjarakan atau dihukum dengan siksaan yang pedih’, yaitu dipukul dengan pukulan keras yang menyakitkan.” (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 4/266)D. emikianlah muslihat yang dilakukan istri Al-Aziz untuk menimpakan kesalahan kepada Yusuf ‘alaihissalam.

Al-Imam Bukhari dan Al-Imam Muslim rahimahumallah dalam Shahih keduanya mengeluarkan sebuah hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anha. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي مَرَضِهِ: مُرُوا أَبَا بَكْرٍ يُصَلِّي بِالنَّاسِ. قَالَتْ عَائِشَةُ: إِنَّ أَبَا بَكْرٍ إِذَا قَامَ فِي مَقَامِكَ لَمْ يُسْمِعِ النَّاسَ مِنَ الْبُكَاءِ، فَمُرْ عُمَرَ فَلْيُصَلِّ للنَّاسِ. فَقَالَتْ عَائِشَةُ: فَقُلْتُ لِحَفْصَةَ: قُوْلِي لَهُ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ إِذَا قَامَ فِي مَقَامِكَ لَمْ يُسْمِعِ النَّاسَ مِنَ الْبُكَاءِ، فَمُرْ عُمَرَ فَلْيُصَلِّ لنَّاسِ. فَفَعَلَتْ حَفْصَةُ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ n: مَهْ إِنَّكُنَّ لَأَنْتُنَّ صَوَاحِبُ يُوْسُفَ، مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ. فَقَالَتْ حَفْصَةُ لِعَائِشَةَ: مَا كُنْتُ لِأُصِيْبَ مِنْكِ خَيْرًا.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata saat sakitnya, “Perintahkan Abu Bakr agar shalat mengimami orang-orang.” Aisyah berkata, “Sungguh Abu Bakr itu bila berdiri di tempatmu biasa berdiri (sebagai imam dalam shalat), ia tidak dapat memperdengarkan bacaannya kepada orang-orang (makmum) karena isak tangisnya. Karenanya, perintahkanlah Umar agar shalat mengimami orang-orang.” Aisyah berkata, “Aku berkata kepada Hafshah, ‘Katakanlah kepada Rasulullah: ‘Sungguh Abu Bakr itu bila berdiri di tempatmu biasa berdiri (sebagai imam dalam shalat), ia tidak dapat memperdengarkan bacaannya kepada orang-orang (makmum) karena isak tangisnya. Karenanya perintahkanlah Umar agar shalat mengimami orang-orang.’ Hafshah melakukan permintaan Aisyah, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Diamlah, sungguh kalian ini adalah shawahib Yusuf. Perintahkan Abu Bakr agar shalat mengimami orang-orang.” Hafshah berkata kepada Aisyah, “Tidaklah aku pernah mendapat kebaikan darimu1.” (HR. Al-Bukhari no. 679 dan Muslim no. 940)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu menerangkan, “Shawahib adalah bentuk jamak dari shahibah (teman wanita). Yang dimaksudkan adalah mereka itu sama dengan shawahib Yusuf dalam menzahirkan perkara yang sebenarnya berbeda dengan apa yang di dalam batin. Kemudian yang menjadi sasaran pembicaraan Rasulullah dengan kata ‘Kalian ini (antunna)’ walaupun lafaznya jamak adalah satu orang saja yaitu Aisyah radhiyallahu ‘anha. Sebagaimana lafadz shawahib dengan bentuk jamak namun yang dimaukan hanya Zulaikha saja (istri Al-Aziz). Sisi persamaan antara keduanya2 adalah Zulaikha mengundang para wanita dan menampakkan pada mereka bahwa ia ingin memuliakan mereka dengan perjamuan, namun yang menjadi tujuannya lebih dari itu yakni agar mereka dapat menyaksikan ketampanan Yusuf sehingga mereka dapat memaklumi kenapa ia mencintai Yusuf3. Sementara Aisyah radhiyallahu ‘anha menampakkan pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia ingin ayahnya jangan dijadikan sebagai imam karena ayahnya tidak dapat memperdengarkan bacaannya kepada makmum disebabkan tangisnya. Namun sebenarnya maksud Aisyah radhiyallahu ‘anha lebih dari perkara tersebut, yaitu agar orang-orang tidak menganggap sial terhadap ayahnya.” (Fathul Bari, 2/199)

Hal ini dinyatakan sendiri oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha:

لَقَدْ رَاجَعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ذَلِكَ وَمَا حَمَلَنِي عَلىَ كَثْرَةِ مُرَاجَعَتِهِ إِلاَّ أَنَّهُ لَمْ يَقَعْ فِي قَلْبِي أَنْ يُحِبَّ النَّاسُ بَعْدَهُ رَجُلاً قَامَ مَقَامَهُ أَبَدًا، وَلاَ كُنْتُ أَرَى أَنَّهُ لَنْ يَقُوْمَ أَحَدٌ مَقَامَهُ إِلاَّ تَشَاءَمَ النَّاسُ بِهِ، فَأَرَدْتُ أَنْ يَعْدِلَ ذَلِكَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَبِي بَكْر
“Sungguh aku menyanggah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah itu (dengan mengusulkan yang lain dari apa yang diinginkan beliau, pent.) dan tidak ada yang mendorongku untuk berulang kali menyanggah beliau, kecuali bahwa tidak terbetik di hatiku orang-orang akan mencintai seseorang setelah beliau yang berdiri pada tempat beliau selama-lamanya. Tidak pula aku memandang tidak akan ada seseorang yang berdiri pada tempat beliau, kecuali orang-orang akan menganggap sial/tidak baik dengan orang (yang menggantikan tempat beliau) itu. Maka aku ingin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memalingkan hal itu dari Abu Bakr.” (HR. Al-Bukhari no. 4445 dan Muslim no. 938)

Dalam riwayat Muslim (no. 939) disebutkan ucapan Aisyah radhiyallahu ‘anha:

وَاللهِ، مَا بِي إِلاَّ كَرَاهِيَةُ أَنْ يَتَشَاءَمَ النَّاسُ بِأَوَّلِ مَنْ يَقُوْمُ فِي مَقَامِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Demi Allah, tidak ada alasan bagiku (untuk menyanggah keinginan Rasulullah agar ayahku, Abu Bakr, menggantikan posisi beliau sebagai imam, pent.) kecuali aku tidak suka manusia menganggap sial dengan orang yang pertama kali menempati tempat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (di dalam shalat sebagai imam, pen.).”

Masih berita dari Aisyah radhiyallahu ‘anha:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَرَادَ سَفَرًا أَقَرْعَ بَيْنَ نِسَائِهِ، فَطَارَتِ الْقُرْعَةُ لِعَائِشَةَ وَحَفْصَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ بِاللَّيْلِ سَارَ مَعَ عَائِشَةَ يَتَحَدَّثُ، فَقَالَتْ حَفْصَةُ: أَلاَ تَرْكَبِيْنَ اللَّيْلَةَ بَعِيْرِيْ وَأَرْكَبُ بَعِيْرَكِ تَنْظُرِيْنَ وَأَنْظُرُ؟ فَقَالَتْ: بَلى. فَرَكِبَتْ فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى جَمَلِ عَائِشَةَ وَعَلَيْهَا حَفْصَةُ، فَسَلَّمَ عَلَيْهَا ثُمَّ سَارَ حَتَّى نَزَلُوْا وَافْتَقَدَتْهُ عَائِشَةُ، فَلَمَّا نَزَلُوا جَعَلَتْ رِجْلَيْهَا بَيْنَ الْإِذخِرِ وَتَقُوْلُ، رَبِّ سَلِّطْ عَلَيَّ عَقْرَبًا أَوْ حَيَّةً تَدْلُغُنِي وَلاَ أَسْتَطِيْعُ أَنْ أَقُوْلَ لَهُ شَيْئًا
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya bila hendak safar, beliau mengundi di antara istri-istrinya. Dalam satu safar, undian jatuh pada Aisyah dan Hafshah. Bila tiba malam hari dalam safar tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan mengiringi unta Aisyah dan berbincang dengan Aisyah. Maka berkatalah Hafshah kepada Aisyah, “Tidakkah malam ini engkau ingin menunggangi untaku dan aku gantian menunggangi untamu, hingga engkau dan aku bisa melihat pemandangan yang lain.” Menanggapi tawaran tersebut, Aisyah berkata, “Tentu aku mau.” Aisyah pun menunggangi unta Hafshah. Pada malam hari, datanglah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke unta Aisyah sementara di atasnya (dalam sekedup) Hafshah. Nabi mengucapkan salam kepadanya, kemudian berjalan mengiringi unta Aisyah tersebut hingga rombongan singgah di suatu tempat. Aisyah merasa kehilangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ketika mereka telah singgah di suatu tempat, Aisyah turun dari unta yang ditungganginya dan memasukkan kedua kakinya di antara semak-semak seraya berkata, “Wahai Rabbku, kuasakanlah seekor kalajengking atau ular agar menyengatku dan aku tidak kuasa mengatakan apa-apa kepada Nabi-Mu.” (HR. Al-Bukhari no. 5211 dan Muslim no. 6248)

Hafshah radhiyallahu ‘anha memperdaya Aisyah radhiyallahu ‘anha agar dapat jalan beriringan di malam hari bersama suami yang sama-sama mereka cintai, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika menyadari kekeliruannya mengiyakan usulan Hafshah, Aisyah menyesali dirinya sendiri. Karena kecemburuan yang sangat, ia melakukan apa yang dilakukannya dan mendoakan kematian untuk dirinya. (Fathul Bari 9/387, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 15/206)

Ada kalanya muslihat yang dilakukan wanita untuk perkara kebaikan sebagaimana kisah Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anha yang diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Shahih-nya (no. 5657). Dalam hadits itu disebutkan setelah Asma` menceritakan khidmatnya kepada suaminya, Az-Zubair ibnul ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu, Asma` radhiyallahu ‘anha berkata:

فَجَاءَنِي رَجُلٌ فَقَالَ: يَا أُمَّ عَبْدِ اللهِ، إِنِّي رَجُلٌ فَقِيْرٌ، أَرَدْتُ أَنْ أَبِيْعَ فِي ظِلِّ دَارِكِ. قَالَتْ: إِنِّي إِنْ رَخَصْتُ لَكَ، أَبَى ذَاكَ الزُّبَيْرُ، فَتَعَالْ، فَاطْلُبْ إِلَيَّ وَالزُّبَيْرُ شَاهِدٌ. فَجَاءَ فَقَالَ: يَا أُمَّ عَبْدِ اللهِ، إِنِّي رَجُلٌ فَقِيْرٌ، أَرَدْتُ أَنْ أَبِيْعَ فِي ظِلِّ دَارِكِ. فَقَالَتْ: مَا لَكَ بِالْمَدِيْنَةِ إِلاَّ دَارِي؟ فَقَالَ لَهَا الزُّبَيْرُ، مَا لَكِ أَنْ تَمْنَعِيْ رَجُلاً فَقِيْرًا يَبِيْعُ؟ فَكاَنَ يَبِيْعُ إِلَى أَنْ كَسَبَ، فَبِعْتُهُ الْجَارِيَةَ، فَدَخَلَ عَلَيَّ الزُّبَيْرُ وَثَمَنُهَا فِي حَجْرِيْ فَقَالَ: هَبِيْهَا لِي. قَالَتْ: إِنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهَا.
Maka datanglah kepadaku seorang lelaki yang fakir, ia berkata, “Wahai Ummu Abdillah, aku seorang yang fakir, aku ingin berjualan di bawah naungan/teduhan rumahmu.” Asma` menjawab, “Kalau aku memberi keringanan bagimu (mengizinkanmu), biasanya Zubair keberatan. Karenanya, marilah engkau minta kepadaku dalam keadaan Zubair menyaksikan.” Laki-laki itu pun datang seraya berkata, “Wahai Ummu Abdillah, aku seorang yang fakir, aku ingin berjualan di bawah naungan/teduhan rumahmu.” Asma menjawab, “Apakah tidak ada rumah lain bagimu di Madinah ini selain rumahku?” Zubair menegur istrinya, “Kenapa engkau melarang seorang yang fakir untuk berjualan?” Dengan izin tersebut, lelaki itu mulai berjualan hingga ia memperoleh penghasilan/keuntungan. Maka aku menjual seorang budak perempuan kepadanya. Masuklah Zubair dalam keadaan harga/uang penjualan budak tersebut masih berada dalam pangkuanku. Zubair berkata, “Hibahkanlah kepadaku.” Asma` berkata, “Aku sungguh telah menyedekahkannya.”
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


Catatan Kaki:

1 Hafshah radhiyallahu ‘anha mengucapkan demikian karena ia mendapati pengingkaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga ia marah kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha disebabkan Aisyah-lah yang menyuruhnya berkata demikian kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan mungkin pula Hafshah teringat dengan perkaranya bersama Aisyah juga dalam peristiwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam minum madu yang dikatakan oleh Aisyah berbau maghafir. (Fathul Bari, 2/200)
2 Hingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai mengatakan, “Sungguh kalian ini shawahib Yusuf.”
3 Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala kisahkan untuk kita dalam ayat-ayat-Nya:
وَقَالَ نِسْوَةٌ فِي الْمَدِينَةِ امْرَأَةُ الْعَزِيزِ تُرَاوِدُ فَتَاهَا عَنْ نَفْسِهِ قَدْ شَغَفَهَا حُبًّا إِنَّا لَنَرَاهَا فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ. فَلَمَّا سَمِعَتْ بِمَكْرِهِنَّ أَرْسَلَتْ إِلَيْهِنَّ وَأَعْتَدَتْ لَهُنَّ مُتَّكَأً وَءَاتَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ سِكِّينًا وَقَالَتِ اخْرُجْ عَلَيْهِنَّ فَلَمَّا رَأَيْنَهُ أَكْبَرْنَهُ وَقَطَّعْنَ أَيْدِيَهُنَّ وَقُلْنَ حَاشَ لِلَّهِ مَا هَذَا بَشَرًا إِنْ هَذَا إِلَّا مَلَكٌ كَرِيمٌ. قَالَتْ فَذَلِكُنَّ الَّذِي لُمْتُنَّنِي فِيهِ
“Dan wanita-wanita di kota tersebut berkata, ‘Istri Al-Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya kepadanya. Sungguh cintanya kepada bujangnya itu sangat mendalam. Sungguh kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata’. Maka tatkala istri Al-Aziz mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan masing-masing mereka diberikan sebuah pisau (untuk memotong jamuan). (Ketika para wanita itu telah hadir dan menghadapi jamuan yang telah disiapkan), istri Al-Aziz berkata kepada Yusuf, ‘Keluarlah, nampakkan dirimu kepada mereka.’ Maka tatkala wanita-wanita itu melihat Yusuf, mereka terkagum-kagum dengan keelokan rupanya sehingga mereka tidak sadar telah melukai jari-jari tangan mereka (dengan pisau hidangan), dan mereka berkata, ‘Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia.’ Istri Al-Aziz berkata, ‘Itulah dia orangnya yang kalian mencelaku karena tertarik kepadanya….’ (Yusuf: 30-32)

Dinukil dari: http://asysyariah.com/print.php?id_online=712

Nabi Yusuf dan Istri Pembesar (Sebuah Renungan), bag 1


Penulis: Al-Ustadz Abu Muhammad Harist

Surat Yusuf termasuk di antara surat-surat yang nyata-nyata mengandung sejumlah kisah ujian dan cobaan. Di dalam surat ini pula kita melihat sejelas-jelasnya bahwa di balik setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Di dalam perjalanan kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam terdapat pula berbagai pelajaran dan tanda-tanda keesaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bagi mereka yang mau bertanya serta mencari petunjuk dan bimbingan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَقَدْ كَانَ فِي يُوسُفَ وَإِخْوَتِهِ ءَايَاتٌ لِلسَّائِلِينَ

“Sesungguhnya ada beberapa tanda kekuasaan Allah pada (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang bertanya.” (Yusuf: 7)

Awal kisah ini bermula dari sejak Nabi Yusuf ‘alaihissalam menjejakkan kakinya di bumi Mesir, jauh dari kampung halamannya, jauh dari ayah, ibu, dan saudara-saudaranya. Diperjualbelikan sebagai budak belian, hingga jatuh ke tangan seorang pembesar Mesir.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقَالَ الَّذِي اشْتَرَاهُ مِنْ مِصْرَ لِامْرَأَتِهِ أَكْرِمِي مَثْوَاهُ عَسَى أَنْ يَنْفَعَنَا أَوْ نَتَّخِذَهُ وَلَدًا وَكَذَلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الْأَرْضِ وَلِنُعَلِّمَهُ مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ وَاللهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ. وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ ءَاتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ. وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ. وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلَا أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ. وَاسْتَبَقَا الْبَابَ وَقَدَّتْ قَمِيصَهُ مِنْ دُبُرٍ وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ قَالَتْ مَا جَزَاءُ مَنْ أَرَادَ بِأَهْلِكَ سُوءًا إِلَّا أَنْ يُسْجَنَ أَوْ عَذَابٌ أَلِيمٌ. قَالَ هِيَ رَاوَدَتْنِي عَنْ نَفْسِي وَشَهِدَ شَاهِدٌ مِنْ أَهْلِهَا إِنْ كَانَ قَمِيصُهُ قُدَّ مِنْ قُبُلٍ فَصَدَقَتْ وَهُوَ مِنَ الْكَاذِبِينَ. وَإِنْ كَانَ قَمِيصُهُ قُدَّ مِنْ دُبُرٍ فَكَذَبَتْ وَهُوَ مِنَ الصَّادِقِينَ. فَلَمَّا رَأَى قَمِيصَهُ قُدَّ مِنْ دُبُرٍ قَالَ إِنَّهُ مِنْ كَيْدِكُنَّ إِنَّ كَيْدَكُنَّ عَظِيمٌ. يُوسُفُ أَعْرِضْ عَنْ هَذَا وَاسْتَغْفِرِي لِذَنْبِكِ إِنَّكِ كُنْتِ مِنَ الْخَاطِئِينَ. وَقَالَ نِسْوَةٌ فِي الْمَدِينَةِ امْرَأَةُ الْعَزِيزِ تُرَاوِدُ فَتَاهَا عَنْ نَفْسِهِ قَدْ شَغَفَهَا حُبًّا إِنَّا لَنَرَاهَا فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ. فَلَمَّا سَمِعَتْ بِمَكْرِهِنَّ أَرْسَلَتْ إِلَيْهِنَّ وَأَعْتَدَتْ لَهُنَّ مُتَّكَأً وَءَاتَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ وَءَاتَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ سِكِّينًا وَقَالَتِ اخْرُجْ عَلَيْهِنَّ فَلَمَّا رَأَيْنَهُ أَكْبَرْنَهُ وَقَطَّعْنَ أَيْدِيَهُنَّ وَقُلْنَ حَاشَ لِلَّهِ مَا هَذَا بَشَرًا إِنْ هَذَا إِلَّا مَلَكٌ كَرِيمٌ. قَالَتْ فَذَلِكُنَّ الَّذِي لُمْتُنَّنِي فِيهِ وَلَقَدْ رَاوَدْتُهُ عَنْ نَفْسِهِ فَاسْتَعْصَمَ وَلَئِنْ لَمْ يَفْعَلْ مَا ءَامُرُهُ لَيُسْجَنَنَّ وَلَيَكُونَنْ مِنَ الصَّاغِرِينَ. قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ. فَاسْتَجَابَ لَهُ رَبُّهُ فَصَرَفَ عَنْهُ كَيْدَهُنَّ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ. ثُمَّ بَدَا لَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا رَأَوُا الْآيَاتِ لَيَسْجُنُنَّهُ حَتَّى حِينٍ

Dan orang Mesir yang membelinya berkata kepada istrinya: “Berikanlah kepadanya tempat (dan layanan) yang baik, boleh jadi dia bermanfaat kepada kita atau kita pungut dia sebagai anak.” Dan demikian pulalah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di muka bumi (Mesir), dan agar Kami ajarkan kepadanya ta’bir mimpi. Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya. Dan tatkala dia cukup dewasa, Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: “Marilah ke sini.” Yusuf berkata: “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukanku dengan baik.” Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung. Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tiada melihat tanda (dari) Rabbnya. Demikianlah, agar Kami memalingkan darinya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan kedua-duanya mendapati suami wanita itu di muka pintu. Wanita itu berkata: “Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan istrimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?” Yusuf berkata: “Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya)”, dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya: “Jika baju gamisnya koyak di muka, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta. Dan jika baju gamisnya koyak di belakang, maka wanita itulah yang dusta, dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar.” Maka tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang berkatalah dia: “Sesungguhnya (kejadian) itu adalah di antara tipu daya kamu, sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar.” (Hai) Yusuf: “Berpalinglah dari ini dan (kamu hai istriku) mohon ampunlah atas dosamu itu, karena kamu sesungguhnya termasuk orang-orang yang berbuat salah.” Dan wanita-wanita di kota berkata: “Istri Al-Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya), sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam. Sesungguhnya kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata.” Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusuf): “Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada mereka.” Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa)nya dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: “Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia.” Wanita itu berkata: “Itulah dia orang yang kamu cela aku karena (tertarik) kepadanya, dan sesungguhnya aku telah menggoda dia untuk menundukkan dirinya (kepadaku) akan tetapi dia menolak. Dan sesungguhnya jika dia tidak menaati apa yang aku perintahkan kepadanya, niscaya dia akan dipenjarakan dan dia akan termasuk golongan orang-orang yang hina.” Yusuf berkata: “Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dariku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” Maka Rabbnya memperkenankan doa Yusuf, dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui. Kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya sampai suatu waktu.”

Sebagian ulama menceritakan bahwa pembesar itu adalah salah seorang menteri raja yang tidak mempunyai anak. Sebagian lagi mengatakan bahwa dia seorang kebiri (kasim, sida-sida), tidak menyentuh wanita. Pembesar tersebut membeli Nabi Yusuf ‘alaihissalam untuk istrinya agar menjadi pelayannya. Inilah salah satu alasan dia membeli Nabi Yusuf ‘alaihissalam untuk istrinya. Adapun alasan lainnya, karena ketika itu usia Nabi Yusuf ‘alaihissalam masih kecil, sehingga perlu perhatian. Sementara tidak ada yang dapat memberi perhatian dan asuhan selayaknya untuk anak seusia itu kecuali seorang wanita (ibu).

Sesungguhnya godaan wanita yang dialami Nabi Yusuf ‘alaihissalam adalah cobaan paling besar yang beliau hadapi dalam hidup beliau. Hal itu karena banyaknya faktor yang mendukung untuk terjadinya kekejian antara seorang laki-laki dengan perempuan. Padahal satu saja dari beberapa faktor tersebut sudah cukup untuk menjerumuskan sepasang pria dan wanita ke dalam kehinaan tersebut. Sementara faktor yang ada di sekitar Nabi Yusuf dan istri pembesar itu sendiri justru sangat banyak.

Semua itu, berangkat dari ketertarikan kepada rupa atau bentuk (shuurah). Sementara di dalamnya terdapat berbagai kerusakan yang dapat terjadi saat itu juga atau pada suatu ketika. Karena sesungguhnya ketertarikan kepada rupa atau bentuk itu dapat merusak hati. Dan apabila hati sudah rusak, maka rusak pula kehendak (niat), ucapan dan perbuatan. Selanjutnya, rusak pula pos-pos tauhid.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengisahkan kepada kita tentang ketertarikan istri pembesar itu kepada Nabi Yusuf ‘alaihissalam, rayuan berikut tipu dayanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menceritakan tentang keadaan yang dialami oleh Nabi Yusuf ‘alaihissalam karena sifat ‘iffah, kesabaran, dan ketakwaannya. Padahal cobaan yang dihadapi oleh beliau ini, adalah keadaan yang tidak seorang pun dapat bersabar menghadapinya kecuali orang yang diberi kesabaran oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Apalagi terjadinya sebuah perbuatan sesuai dengan kuatnya dorongan dan tidak adanya penghalang untuk bertindak. Sedangkan keadaan yang dialami beliau sangat kuat pendorongnya, yaitu:

1. Naluri laki-laki yang suka kepada wanita, seperti orang yang sedang kehausan membutuhkan air dan orang kelaparan yang ingin makan. Bahkan kebanyakan laki-laki, mampu bersabar untuk tidak makan dan minum, tetapi tidak sabar dari kaum wanita. Namun, naluri ini tidaklah tercela, apabila diletakkan pada tempat yang halal, bahkan dipuji.

2. Kondisi Nabi Yusuf ‘alaihissalam sebagai seorang pemuda gagah yang rupawan, sedangkan syahwat seorang pemuda sangat kuat.

3. Keadaan beliau yang masih jejaka, belum pernah menikah, dan tidak pula mempunyai budak perempuan untuk menyalurkan hasratnya.

4. Beliau berada di negeri asing, yang memungkinkan seseorang yang jauh dari negeri asalnya melampiaskan sesuatu yang tidak mungkin dilakukannya di tanah kelahirannya, di antara sanak keluarganya dan orang-orang yang mengenalnya.

5. Wanita yang merayunya itu memiliki kedudukan dan kecantikan. Padahal salah satunya saja, sudah cukup mengundang laki-laki untuk menggaulinya.

6. Wanita itu tidak mencegah dan menolak. Biasanya, banyak laki-laki yang padam keinginannya karena ada penolakan dan ketidaksukaan dari si wanita, karena dia merasa hina dan tunduk serta mengemis kepada wanita itu. Meski banyak pula dengan adanya ketidaksukaan dan penolakan dari wanita itu justru semakin menambah syahwat dan keinginannya. Seperti diungkapkan:

وَزَادَنِي كَلَفًا فِي الْحُبِّ إِن ْمُنِعْتُ
أَحَبُّ شَيْءٍ إِلَى الْإِنْسَانِ مَا مُنِعَا
Semakin besar cintaku kalau aku dihalangi
Yang paling dicintai seseorang adalah apa yang terhalang

7. Wanita itu meminta, menginginkan, dan membujuk serta mengusahakan dengan sungguh-sungguh. Sedangkan Nabi Yusuf ‘alaihissalam tidak demikian. Beliau justru dalam keadaan mulia serta diharapkan.

8. Nabi Yusuf ‘alaihissalam tinggal di rumah wanita itu, di bawah kekuasaannya dan ada kekhawatiran akan disiksa bila tidak menuruti kemauannya. Sehingga terkumpullah pada beliau dorongan keinginan sekaligus adanya rasa takut.

9. Beliau tidak khawatir wanita itu akan menceritakan perbuatannya, bahkan tidak satu pun dari pihak wanita itu, sebab wanita itulah yang memiliki keinginan dan tuntutan. Bahkan dia telah mengunci semua pintu, serta pengawas pun tidak ada.

10. Secara lahiriah Nabi Yusuf ‘alaihissalam adalah budak yang dimiliki oleh wanita itu. Beliau keluar-masuk rumah bersama wanita itu, tak seorang pun mengingkarinya. Apalagi kedekatan serta kebersamaan adalah awal sebuah keinginan, dan ini termasuk pendorong yang sangat kuat.
Sebagaimana pernah ditanyakan kepada seorang wanita Arab bangsawan, mengapa dia berzina? Kata wanita itu: “Dekatnya jarak dan panjangnya malam.” Artinya, karena dekatnya laki-laki itu kepadaku dan panjangnya malam yang kami lalui.

11. Wanita itu mengancam Nabi Yusuf ‘alaihissalam akan dipenjarakan dan dihinakan. Ini termasuk pemaksaan. Karena hal tersebut adalah ancaman dari orang yang besar kemungkinannya melaksanakan ancaman tersebut, sehingga menyatu dalam diri Nabi Yusuf ‘alaihissalam dorongan syahwat dan keinginan selamat dari penjara serta kehinaan.

12. Suami wanita itu tidak menampakkan rasa cemburu dan kejantanan yang mendorongnya memisahkan wanita itu dan Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Bahkan perkataannya yang paling tinggi ditujukan kepada Nabi Yusuf ‘alaihissalam hanyalah sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
أَعْرِضْ عَنْ هَذَا
“Berpalinglah dari ini.”
Sedangkan kepada istrinya dia mengatakan sebagaimana dalam ayat:
وَاسْتَغْفِرِي لِذَنْبِكِ إِنَّكِ كُنْتِ مِنَ الْخَاطِئِينَ
“Dan (kamu hai istriku) mohon ampunlah atas dosamu itu, karena kamu sesungguhnya termasuk orang-orang yang berbuat salah.”
Padahal, besarnya kecemburuan seorang suami termasuk penghalang paling besar terjadinya penyelewengan seorang istri, namun ternyata hal itu tidak terlihat dari suami wanita tersebut.

Akan tetapi, dengan segala faktor pendorong ini, ternyata Nabi Yusuf ‘alaihissalam lebih mengutamakan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasa takut kepada-Nya. Cintanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala mendorong beliau untuk memilih penjara daripada zina. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ
Yusuf berkata: “Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku.”

Semua ini mendekatkan kepada kita bentuk kesabaran yang dijalani oleh Nabi Yusuf ‘alaihissalam dan memberikan bekal serta pelajaran dasar kepada kita dimana beliau terdidik di atasnya. Bahkan itu semua menjadi salah satu alasan ketegaran beliau. Sebab, tidak mungkin akan dapat menahan diri dalam situasi seperti ini mereka yang terbiasa membiarkan dirinya berkecimpung di mana saja dia mau lalu baru berangan-angan untuk tabah (menahan diri).

Dengan semua faktor tersebut, Nabi Yusuf ‘alaihissalam lebih memilih kemuliaan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bersabar sehingga beliau memperoleh kebahagiaan, kemuliaan di dunia dan surga di akhirat. Kesabaran yang beliau rasakan menghadapi godaan wanita ini jauh lebih berat daripada kesabaran yang beliau alami ketika berada dalam sumur. Beliau lebih memilih penjara daripada menuruti keinginan istri pembesar itu demi mengharap pahala di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan takut akan siksa-Nya.

Karena itu pula betapa agung kedudukan mereka yang mampu menahan dirinya dari kehinaan karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang salah satu dari tujuh golongan yang dinaungi Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam naungan yang tidak ada lagi naungan pada hari itu selain naungan-Nya:

رَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتَ مَنْصَبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ: إِنِّي أَخَافَ اللهُ
“Laki-laki yang diajak oleh seorang wanita bangsawan dan cantik, tapi dia berkata: ‘Aku takut kepada Allah’.”

Akhirnya beliau menjadi pembesar negara, sedangkan istri pembesar itu menjadi seperti budak di sisi beliau. Karena itu, orang yang cerdik hendaknya jeli memandang setiap persoalan dan tidak mengedepankan kesenangan sesaat daripada kesenangan abadi.

Siapa yang sabar memelihara farji-nya, niscaya tidak akan digunakannya kecuali pada tempat-tempat yang dihalalkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala demi mengamalkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ. إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (Al-Mu’minun: 5-6)

Karena dengan cara itu dia akan selamat dari zina dan liwath (homo) serta terjamin pula selamatnya kehormatan dirinya dari kesia-siaan.
Dalam kisah ini, Nabi Yusuf ‘alaihissalam sama sekali tidak melakukan dosa apapun. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah menyebutkan satu dosa dari salah seorang Nabi-Nya melainkan Dia sertakan pula istighfar Nabi tersebut. Dalam surat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyebutkan adanya istighfar dari Nabi Yusuf ‘alaihissalam, tidak pula menceritakannya di awal terjadinya peristiwa tersebut bersama istri pembesar. Dari sini jelaslah bahwa beliau tidak pernah berbuat dosa. Bahkan yang ada hanyalah sekadar keinginan yang beliau tinggalkan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga beliau memperoleh pahala karenanya.

Di dalam kisah istri pembesar ini terdapat pelajaran berharga, di antaranya:
1. Apabila cinta melampaui batasan syariat, niscaya menimbulkan mudharat, baik terhadap yang mencinta maupun yang dicintai.
2. Bagi yang mencinta, maka cinta seperti itu akan menghilangkan akalnya sehingga muncul berbagai tindakan yang tidak benar; resah, gelisah, lalai, seolah-olah dia tidak hidup di atas dunia ini. Demikianlah yang pernah dinukil, bahwa cinta itu kalau bukan sihir maka dia adalah sekelumit kegilaan. Sementara kegilaan itu beraneka ragam bentuknya. Wallahul musta’an.

Dalam sebuah hadits disebutkan pula:
أحْبِبْ حَبِيبَكَ هَوْناً مَا، عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيضَكَ يَوْماً مَا. وَأَبْغِضْ بَغِيضَكَ هَوْناً مَا، عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيبَكَ يَوْماً مَا
“Cintailah orang yang kau cintai sedang-sedang saja, boleh jadi suatu ketika dia menjadi yang paling kau benci. Bencilah orang yang kau benci sedang-sedang saja, karena bisa jadi suatu ketika dia menjadi yang paling kau cintai.”1

3. Di dalam kisah ini kita lihat betapa berbahayanya berduaan (khalwat) dengan wanita yang bukan mahram. Karena itu pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
Janganlah kamu masuk kepada kaum wanita (yang bukan mahram/istri). Seorang sahabat Anshar bertanya: “Bagaimana pendapat anda tentang al-hamwu (kerabat suami, anak paman, dan sebagainya).”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Al-Hamwu adalah maut (kematian).” (Muttafaqun ‘alaihi)

Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu ketika menukil keterangan tentang hadits ini, mengatakan: “Yang dimaksud adalah bahwa berdua dengan al-hamwu ini, akan menggiring pada kehancuran agama kalau terjadi maksiat. Dan membawa kepada kematian kalau terjadi maksiat yang mengharuskan adanya rajam. Atau kehancuran bagi si wanita karena dicerai oleh suaminya, apabila dia terdorong oleh kecemburuannya.”
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu mengatakan, “Sebenarnya yang dimaksud adalah bahwa berduaan dengan kerabat suami lebih sering terjadi daripada dengan yang lainnya, dan kejahatan yang mungkin terjadi pun lebih sering daripada dengan yang lain. Bahkan fitnah juga demikian. Semua itu karena adanya kesempatan dan kemungkinan dia berhubungan dan berduaan dengan wanita tersebut tanpa ada pengingkaran dari orang lain. Berbeda halnya dengan ajnabi (bukan mahram, bukan suami).” Wallahu a’lam.

Keadaan seperti inilah yang dialami oleh Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Tidak ada orang yang mengingkari, karena status beliau adalah budak bagi keluarga tersebut. Atau anak angkat mereka. Sehingga apa yang hendak dilakukan wanita itu kepada Nabi Yusuf ‘alaihissalam, juga tidak dipedulikan orang. Namun, keimanan dan ketakwaan yang ada di dalam diri Nabi Yusuf ‘alaihissalam, memelihara beliau untuk tidak menuruti keinginan wanita tersebut.

Lantas, setelah Nabi Yusuf ‘alaihissalam siapakah lagi yang selamat dari fitnah wanita dan mampu menahan diri (bersabar) dari perbuatan keji (zina)? Apalagi dengan kondisi seperti yang dialami oleh Nabi Yusuf ‘alaihissalam? Terlebih di zaman yang banyak terjadi perbuatan keji yang dikemas dengan label agama? Wallahul Musta’an.

Berbagai buku cerita tentang kisah “kasih” sepasang anak manusia begitu laris digelar. Dengan berbagai versi, lakon, dan latar belakang. Bahkan tidak segan-segan pula dipenuhi dengan berbagai dalil dari ayat Al-Qur’an atau hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akhirnya, tertipulah orang-orang yang tertipu dan senantiasa mementingkan syahwat dunianya. Mereka anggap itulah ajaran Islam. Wallahul Musta’an.
(Insya Allah bersambung)

1 HR. At-Tirmidzi dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 178 dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.

Dinukil dari: http://asysyariah.com/print.php?id_online=908