Hukum Menukil Ucapan Ahli Bid’ah


Penulis: Ihab Asy-Syaafi’i hafizhahullah

Hukum Menukil Ucapan Ahli Bid’ah (Bag. 1)

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضلّ له ومن يضّلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، أما بعد :

Telah muncul dizaman kita orang-orang yang berpendapat bolehnya menukil dari kitab-kitab Ahli bid’ah dengan alasan bahwa para Ulama salaf dahulu mereka menukil riwayat dari ahli bid’ah dan berdalil dengan ucapan tersebut dengan perkataan Imam Ibnus Salah dalam “Muqaddamahnya”dimana Beliau berkata :

( وهذا المذهب الثالث أعدلها وأولاها، والأول بعيد مباعد للشائع عن أئمة الحديث، فإن كتبهم طافحة بالرواية عن المبتدعة غير الدعاة. وفي الصحيحين كثير من أحاديثهم في الشواهد والأصول، و الله أعلم.)

“Dan mazhab yang ketiga ini adalah yang paling adil dan paling utama, mazhab pertama sangat jauh dari sikap yang masyhur dari para imam hadits, dimana kitab- kitab mereka penuh dengan periwayatan dari ahli bid’ah yang bukan da’i. Dalam shahih Bukhari dan muslim banyak sekali diriwayatkan dari hadits- hadits mereka (ahli bid’ah,pent) baik dalam syawahid maupun ushul. Wallahu A’lam.”

Maka aku berkata sebagai bantahan atas syubhat ini:

Para Imam Salaf – semoga Allah merahmati orang yang telah meninggal dari mereka dan memelihara yang masih hidup diantara mereka- membedakan antara meriwayatkan dari ahli bid’ah dengan menukil dari ucapan murni dari mereka serta ijtihad-ijtihad mereka.

Berbeda antara menukil riwayat ahli bid’ah dengan memperhatikan dhawabit (syarat-syarat) yang telah ditetapkan oleh para ulama, dengan menukil ucapan murni dari mereka serta ijtihad-ijtihadnya. Sebab meninggalkan riwayat ahli bid’ah-disebabkan karena bid’ahnya, sementara mereka meriwayatkan hadits-merupakan mafsadah (kemudaratan) yang besar yang lebih besar mudaratnya dibanding meriwayatkan dari ahli bid’ah, yaitu mafsadah meninggalkan hadits-hadits Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam,. Hal itu dilakukan dengan tujuan memelihara hadits Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, terlebih lagi ketika itu merupakan zaman pengumpulan riwayat-riwayat hadits. Oleh karenanya, jika kita membaca ucapan salaf tentang peringatan dari kitab-kitab ahli bid’ah, maka kita akan mengetahui bagaimana sikap kecemburuan mereka terhadap manhaj salafus saleh, yaitu sikap keras mereka dalam memberi peringatan dari kitab-kitab ahli bid’ah dan pengekor hawa nafsu. Mereka yang berpendapat tentang bolehnya meriwayatkan dari ahli bid’ah dengan memperhatikan syarat-syaratnya, mereka pulalah yang memberi peringatan dari kitab-kitab ahli bid’ah dan menukil dari ucapannya. Berkata Al-Allamah Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin Rahimahullah setelah Beliau bercerita tentang bid’ah khawarij :

ومع ذلك هم أشد الناس على الكذب وأهل الكذب ، ولا يمكن أن ينقلوا شيئاً كذباً إطلاقاً ، لا سيما إن كان كذباً على الرسول عليه الصلاة والسلام ، لأنهم يرون أن فاعل الكبيرة كافر مخلد في النار ، فمثل هؤلاء روى عنهم أئمة الحديث كالبخاري ومسلم وغيرهم ، مع أن بدعتهم شديدة غليظة جداً فلذلك يرى بعض العلماء أن مدار الرواية ليست على عدالة التدين إنما هي عدالة التحري في الصدق فمتى علمنا أن هذا الرجل متحر للصدق غاية التحري وأنه لا يمكن أن يكذب فلا علينا من دينه الذي يدين الله به

“Namun dari sisi lain mereka adalah orang–orang yang paling keras terhadap dusta dan para pendusta, dan tidak mungkin mereka menukil sesuatu dengan cara dusta, terlebih lagi jika dusta tersebut atas nama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, sebab mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar adalah kafir dan dikekalkan dalam neraka. Seperti mereka ini para imam ahli hadits tetap meriwayatkan dari mereka, seperti Bukhari, Muslim dan selain keduanya. Padahal bid’ah mereka sangatlah keras. Oleh karenanya, sebagian para ulama melihat bahwa sumber penerimaan riwayat tidak dibangun diatas bagusnya agamanya, namun dibangun diatas kehati- hatian dalam kejujuran, kapan kita mengetahui bahwa perawi ini sangat menjaga kejujurannya, dan bahwa tidak mungkin dia berdusta, maka bukan tanggung jawab kita berkenaan dengan keyakinan yang diyakininya.”

(Syarah Nuzhatun Nazhar:255)

Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhali–Hafizhahullah- dalam kitabnya “manhajus salaf fit ta’amul ma’a kutubi ahlil bida’” menukil beberapa ucapan salaf dalam menjelaskan tentang peringatan mereka dari ahli bid’ah dan kitab- kitab mereka. Berikut ini diantaranya:

Fatwa Imam Malik Rahimahullah: “Tidak boleh menyewakan sedikitpun dari kitab-kitab ahli bid’ah dan hawa nafsu.”

Dinukil oleh Abdullah bin Ahmad dari ayahnya Rahimahullah:

Berkata Abdullah bin Ahmad bin Hambal: aku mendengar ayahku berkata: Sallam bin Abi Muthi’ termasuk perawi tsiqah berkata: telah memberitakan kepada kami Ibnu Mahdi. Lalu ayahku berkata: Adalah Abu Awanah pernah menulis sebuah buku yang padanya disebutkan aib para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, dan juga terdapat hal- hal yang merupakan musibah. Lalu datang Sallam bin Abi Muthi’ lalu berkata: Wahai Abu Awanah, berikan kepadaku kitab itu. Lalu Abu Awanah memberikan kepadanya dan diambil oleh Sallam lalu membakarnya. Berkata ayahku:

“Sallam termasuk sahabatnya Ayyub dan Beliau adalah seorang yang saleh.”

(Al-‘Ilal wa ma’rifatur Rijaal:1/108)

Berkata Adz- Dzahabi Rahimahullah setelah menyebutkan sebagian kitab-kitab sesat:

فالحذار الحذار من هذه الكتب ، واهربوا بدينكم من شبه الأوائل وإلا وقعتم في الحيرة ، فمن رام النجاة والفوز فليلزم العبودية ، وليدمن الاستغاثة بالله ، وليبتهل إلى مولاه في الثبات على الإسلام وأن يتوفى على إيمان الصحابة، وسادة التابعين ، والله الموفق .

“Berhati-hati dan berhati-hati dari kitab-kitab ini. Dan berlarilah kalian dengan membawa agama kalian dari syubhat mereka yang telah lalu, sebab jika tidak maka kalian akan terjatuh dalam kebingungan. Barangsiapa yang ingin menuju keselamatan dan kemenangan maka hendaknya dia komitmen dalam beribadah, dan senantiasa memohon pertolongan kepada Allah, dan berserah diri kepada Allah agar diberi kekokohan didalam islam, dan dia meninggal diatas keimanan para sahabat dan pembesar tabi’in.Semoga Allah memberi taufik.”

(As-Siyar, 19/328-329)

Berkata Syaikh Zaid Al-Madkhali dangan memberi catatan:

وقد حذر سلفنا الصالح رضوان الله عليهم ـ من النظر في كتب المبتدعة لما يترتب على ذلك من المفاسد العظيمة فإن القلوب ضعيفة والشبه خطافة ومما يؤسف له أن كثيرا من الشباب اليوم يقرؤون في كتب أهل الأهواء والضلال ويربون أنفسهم عليها ثم يعودون حربا على السنة وأهلها وحربا على منهج السلف الحق ، فإنا لله وإنا إليه راجعون

“Sungguh para ulama salaf saleh -semoga Allah meridhai mereka- telah memberi peringatan dari melihat kitab-kitab ahli bid’ah, disebabkan pengaruh yang ditimbulkan berupa mafsadah yang besar, karena sesungguhnya hati-hati itu lemah, sedangkan syubhat sangat cepat menyambar. Yang sangat disayangkan bahwa kebanyakan dari para pemuda sekarang membaca kitab-kitab pengekor hawa nafsu dan kesesatan, dan mendidik diri-diri mereka diatasnya, lalu setelah itu mereka kembali dengan memerangi ahlus sunnah dan para pengikutnya, dan memerangi manhajus salaf yang haq. Innaa Lillaahi Wa Innaa Ilaihi Rooji’uun.”

Dinukil dari:

http://www.salafybpp.com/5-artikel-terbaru/173-hukum-menukil-ucapan-ahli-bidah-bag-1.html

Hukum Menukil Ucapan Ahli Bid’ah (Bag. 2)

Berkata Syaikh Zaid Al-Madkhali dangan memberi catatan:

وقد حذر سلفنا الصالح رضوان الله عليهم ـ من النظر في كتب المبتدعة لما يترتب على ذلك من المفاسد العظيمة فإن القلوب ضعيفة والشبه خطافة ومما يؤسف له أن كثيرا من الشباب اليوم يقرؤون في كتب أهل الأهواء والضلال ويربون أنفسهم عليها ثم يعودون حربا على السنة وأهلها وحربا على منهج السلف الحق ، فإنا لله وإنا إليه راجعون

“Sungguh para ulama salaf saleh-semoga Allah meridhai mereka- telah memberi peringatan dari melihat kitab-kitab ahli bid’ah, disebabkan pengaruh yang ditimbulkan berupa mafsadah yang besar, karena sesungguhnya hati-hati itu lemah, sedangkan syubhat sangat cepat menyambar.

Yang sangat disayangkan bahwa kebanyakan dari para pemuda sekarang membaca kitab- kitab pengekor hawa nafsu dan kesesatan, dan mendidik diri- diri mereka diatasnya, lalu setelah itu mereka kembali dengan memerangi ahlus sunnah dan para pengikutnya, dan memerangi manhajus salaf yang haq. Innaa Lillaahi Wa Innaa Ilaihi Rooji’uun.”

Dan hal ini tidak hanya dilakukan oleh para imam Salaf terdahulu saja, namun juga para ulama dimasa kini yang memiliki andil dalam membahas perkara ini. Syaikh Zaid Al-Madkhali Hafizhahullah telah menukil dalam kitab Beliau yang sama dari sikap Al-Allamah Muqbil bin Hadi Rahimahullah:

Fatwa Muhaddits Negeri yaman Muqbil Al-Wadi’i Rahimahullah: untuk membakar kitab “Al-khuthut al-Ariidhah” tulisan Abdurrazzaq Asy-Syaayiji (Salah seorang murid Abdurrahman Abdul Khaliq, mufti Ihya At-Turats, pent). Berkata Syaikh dalam kaset “dibalik pengeboman yang terjadi di dua negeri tanah suci.”:

“Fatwa saya atas kitab ini adalah dibakar.”

Syaikh (Rahimahullah) juga memberi peringatan dari majalah As-Sunnah yang diterbitkan oleh Muhammad Surur, Beliau berkata: “ Lebih tepat jika disebut majalah bid’ah”.

Aku berkata:

Demikian pula Al-Allamah Saleh Al-Fauzan Hafizhahullah, Beliau ditanya:

“Apa pendapat yang benar tentang membaca kitab-kitab ahli bid’ah dan mendengar kasetnya?.”

Beliau menjawab: “Tidak boleh membaca kitab-kitab ahli bid’ah dan mendengar kaset-kaset mereka kecuali bagi yang ingin membantah mereka dan menjelaskan kesesatannya.”

(Al-Ajwibatul mufidah:70)

Syaikh Khalid Azh-Zhafiri Hafizhahullah telah menukil ijma’ para ulama untuk meninggalkan melihat kitab-kitab ahli bid’ah, dalam kitab Beliau “Ijma’ul Ulama alal hajer wat-tahdzir min ahlil ahwaa’,hal:50-51)

Perkataan Imam Abu Manshur Ma’mar bin Ahmad yang diriwayatkan oleh Abul Qasim Al-Ashfahani dalam kitabnya “Al-hujjah fii bayaanil mahajjah”, Ia Berkata:

Telah memberitakan kepada kami Ahmad bin Abdul Ghaffar bin Asytah, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Abu Manshur Ma’mar bin Ahmad berkata:

ولما رأيت غربة السنة، وكثرة الحوادث، واتباع الأهواء، أحببت أن أوصي أصحابي وسائر المسلمين بوصية من السنة وموعظة من الحكمة وأجمع ما كان عليه أهل الحديث والأثر، وأهل المعرفة والتصوف(5 ) من السلـف المتقدمين والبقية من المتأخرين. فأقول – وبالله التوفيق

“Tatkala aku melihat keasingan sunnah, banyaknya kejadian (yang menyimpang) dan mengikuti hawa nafsu, Aku ingin memberi wasiat kepada para sahabatku dan kepada seluruh kaum muslimin dengan sebuah wasiat dari sunnah dan nasehat yang penuh hikmah, yang telah disepakati oleh ahlul hadits wal atsar, dan ahlul ma’rifah dan tashawwuf[1] dari para ulama salaf terdahulu dan yang terbelakang. Maka Aku berkata –semoga Allah memberi taufik-, lalu Beliau menyebutkan diantaranya:

“Diantara sunnah adalah meninggalkan pendapat dan qiyas dalam agama, meninggalkan perdebatan dan pertengkaran, meninggalkan untuk membuka pintu bagi kelompok pengingkar takdir (Qadariyah) dan ahli kalam, dan meninggalkan melihat kitab- kitab ahli kalam dan ahli nujum. Ini merupakan perkara sunnah yang telah disepakati oleh umat,yang diambil dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berdasarkan perintah Allah Tabaraka Wa Ta’ala.”

Berkata Syaikh Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin Rahimahullah:

ومن هجر أهل البدع ترك النظر في كتبهم خوفاً من الفتنة بها ، أو ترويجها بين الناس ، فالابتعاد عن مواطن الضلال واجب لقوله صلى الله عليه وسلم في الدجال من سمع به فلينأ عنه ، فوالله إن الرجل ليأتيه وهو يحسب أنه مؤمن فيتبعه مما يبعث به من الشبهات. رواه أبو داوود . قال الألباني: وإسناده صحيح لكن إن كان الغرض من النظر في كتبهم معرفة بدعتهم للرد عليها فلا بأس بذلك لمن كان عنده من العقيدة الصحيحة ما يتحصن به وكان قادراً على الرد عليهم ، بل ربما كان واجباً ، لأن رد البدعة واجب، وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب

“Diantara bentuk boikot terhadap ahli bid’ah adalah meninggalkan untuk melihat kitab-kitab mereka karena khawatir terjatuh kedalam fitnah, atau menjadi laris dikalangan manusia, maka menjauhkan diri dari pintu-pintu kesesatan merupakan hal yang wajib berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tentang Dajjal:

من سمع به فلينأ عنه فوالله إن الرجل ليأتيه وهو يحسب أنه مؤمن فيتبعه مما يبعث به من الشبهات

“Barangsiapa yangmendengarnya, maka hendaknya ia menjauh darinya.Demi Allah, sesungguhnya seseorang mendatanginya dalam keadaan dia menyangka bahwa dia (Dajjal) adalah seorang mukmin, sehingga dia mengikutinya dari apa yang dia sebarkan dari berbagai syubhat.”

(HR.Abu Dawud dari Imran bin Hushain, dishahihkan Al-Albani)

Namun apabila tujuan melihat kepada kitab-kitab mereka adalah untuk mengetahui bid’ah mereka agar dibantah, maka tidak mengapa yang demikian itu, bagi yang memiliki aqidah yang benar untuk membentengi diri , dan dia memiliki kemampuan untuk membantah mereka, bahkan terkadang hukumnya menjadi wajib, sebab membantah bid’ah hukumnya wajib, dan apa yang tidak sempurna dalam melakukan suatu amalan yang wajib kecuali dengannya maka iapun menjadi wajib.”

(Syarah lum’atul i’tiqad: 100)

Beliau hanya mengecualikan dari menukil dari kitab-kitab ahli bid’ah adalah untuk membantahnya dan menjelaskan penyimpangannya.

Jika ada yang berkata: Kami mengambil yang benarnya dan meninggalkan yang batil.

Maka saya menjawab seperti jawaban Syaikh Khalid Azh-Zhafiri:

“Memang benar, bahwa kebenaran itu diambil dari siapa saja yang mengucapkannya, dan salafus saleh tidak ragu dalam hal menerima kebenaran. Namun bersamaan dengan itu, mereka sama sekali tidak mengatakan: “Ambillah kebenaran dari kitab-kitab ahli bid’ah dan tinggalkan batilnya,” bahkan mereka berteriak dengan keras untuk meninggalkannya secara menyeluruh, bahkan mereka mewajibkan untuk melenyapkannya. Sebab kebenaran yang ada didalam kitab-kitab ahli bid’ah pada hakekatnya diambil dari al-kitab dan as-sunnah, maka wajib bagi kita untuk mengambil kebenaran itu dari sumbernya yang asli, yang tidak dilumuri kotoran dan tidak pula bid’ah, sebab ia merupakan mata air yang jernih dan air yang sangat tawar.” Selesai penukilan.

(Ijma’ul ulama alal hajer wat tahdzir min ahlil ahwa’:50)

Nabi Shallallah Alaihi Wasallam telah mengingkari Umar bin Khaththab Radhiallahu anhu ketika datang kepadanya sebuah kitab yang berasal dari ahli kitab, meskipun didalamnya terdapat kebenaran . Diriwayatkan dari Jabir Radhiallahu anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam : tatkala Umar Radhiallahu anhu datang kepada Beliau lalu berkata: Sesungguhnya kami mendengar beberapa ucapan Yahudi, dan kami kagum. Apakah menurutmu boleh kami menulis sebagiannya? Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

أمتهوكون أنتم كما تهوكت اليهود والنصارى ؟ لقد جئتكم بها بيضاء نقية ولو كان موسى حيا ما وسعه إلا اتباعي

“Apakah kalian orang- orang yang bimbang seperti bimbangnya Yahudi dan Nashara? Sungguh aku telah membawakan kalian syariat yang putih dan bersih. Jika seandainya Musa Alaihis salam hidup sekarang ini, maka tidak dibolehkan baginya melainkan dia harus mengikuti aku.”

(HR.Ahmad, Baihaqi dalam kitab syu’abul iman, dan dihasankan Al-Albani dalam al-misykaah)

Telah ditanya Syaikh Rabi’ Al-Madkhali Hafizhahullah –Beliau adalah pembawa panji al-jarah wat-ta’dil dizaman ini- dalam sebuah kaset yang berjudul “Liqaa’ ma’as salafiyyin al-falasthiniyyin”, Berikut teks pertanyaanya:

“Wahai Syaikh kami yang mulia, apakh boleh mengambil manfaat dari kitab- kitab ahli bid’ah jika ditulis sebelum mereka menyimpang, atau setelahnya namun tidak terdapat penyimpangan dan bagus dalam satu permasalahan tertentu? Beliau menjawab:

الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن اتبع هداه أما بعد

Jawaban atas pertanyaan ini, saya mengatakan:

إن في كتاب الله وفي سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، وفي تراث سلفنا الصالح الطاهر النظيف ما يغني عن الرجوع إلى كتب أهل البدع…….. سواءً ألفوها قبل أن يقعوا في البدع أو ألفوها بعد ذلك؛ لأن من مصلحة المسلمين إخماد وإخمال ذكر أهل البدع

فالتعلق بكتبهم بقصد الاستفادة يرفع من شأنهم ويعلي منازلهم في قلوب كثير من الناس، ومن مصلحة المسلمين والإسلام إخماد وإخمال ذكر رؤوس البدع والضلال.

وما يخلو كتاب من الحق ، حتى كتب اليهود والنصارى وطوائف الضلال تمزج بين الحق والباطل

فالأوْلى بالمسلم أن يركز على ما ذكرناه سلفاً، فإنه آمَن للمسلم وأضمن له، وأبعَد له من أن يكرم من أهانه الله. ……………………. هذا ما أقوله إجابةً على هذا السؤال

“Sesungguhnya didalam kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam , demikian pula dalam warisan pendahulu kita generasi salafus saleh yang suci dan bersih sudah mencukupi dari merujuk kepada kitab- kitab ahli bid’ah….. sama saja, apakah mereka menulisnya sebelum terjerumus kedalam bid’ah atau mereka menulis setelah terjatuh kedalamnya. Sebab diantara bentuk kemaslahatan kaum muslimin adalah memadamkan dan menghilangkan penyebutan ahli bid’ah. Maka bergantung kepada kitab- kitab mereka dengan tujuan mengambil faedah, akan mengangkat kedudukan mereka dan meninggikan posisi mereka didalam hati kebanyakan manusia. Diantara kemaslahatan kaum muslimin dan islam adalah memadamkan dan melenyapkan penyebutan tokoh- tokoh bid’ah dan kesesatan.

Tidak satupun kitab yang tidak ada kebenarannya, meskipun itu kitab- kitab kaum yahudi, nashara, dan kelompok- kelompok sesat yang mencampur adukkan antara yang hak dan yang batil. Maka lebih selamat bagi seorang muslim untuk memfokuskan dirinya dengan apa yang kami sebut tadi, sebab yang demikian lebih aman dan lebih terjamin, dan lebih jauh dari kekhawatiran dimuliakannya orang yang dihinakan oleh Allah Azza Wajalla……….. Ini jawaban saya atas pertanyaan ini.”

(Dinukil dari makalah: hukum menghadiri pelajaran ahli bid’ah: http://www.sahab.net…ad.php?t=349426)

(Bersambung insya Allah …. )


[1] Yang dimaksud kaum shufiyah disini adalah yang berjalan diatas manhaj salaf,tashawwuf mereka dalam hal sikap zuhud, ibadah dan wara’. Ini sangat nampak dalam aqidahnya yang disebutkan oleh penulis kitab “Al-Hujjah fii bayaanil mahajjah”, kalaulah bukan diatas manhaj ini, niscaya ucapannya tidak memiliki nilai sedikitpun dikalangan ahlus sunnah.

Dinukil dari:

http://www.salafybpp.com/5-artikel-terbaru/174-hukum-menukil-ucapan-ahli-bidah-bag-2.html

Hukum Menukil Ucapan Ahli Bid’ah (Bag. 3)

Penulis: Ihab Asy-Syaafi’i Hafizhahullah

Telah ditanya Syaikh Rabi’ Al-Madkhali Hafizhahullah –Beliau adalah pembawa panji al-jarah wat-ta’dil dizaman ini- dalam sebuah kaset yang berjudul “Liqaa’ ma’as salafiyyin al-falasthiniyyin”, Berikut teks pertanyaanya:

 

“Wahai Syaikh kami yang mulia, apakh boleh mengambil manfaat dari kitab- kitab ahli bid’ah jika ditulis sebelum mereka menyimpang, atau setelahnya namun tidak terdapat penyimpangan dan bagus dalam satu permasalahan tertentu?

 

Beliau menjawab:

الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن اتبع هداه أما بعد

Jawaban atas pertanyaan ini, saya mengatakan:

إن في كتاب الله وفي سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، وفي تراث سلفنا الصالح الطاهر النظيف ما يغني عن الرجوع إلى كتب أهل البدع…….. سواءً ألفوها قبل أن يقعوا في البدع أو ألفوها بعد ذلك؛ لأن من مصلحة المسلمين إخماد وإخمال ذكر أهل البدع

فالتعلق بكتبهم بقصد الاستفادة يرفع من شأنهم ويعلي منازلهم في قلوب كثير من الناس، ومن مصلحة المسلمين والإسلام إخماد وإخمال ذكر رؤوس البدع والضلال.

وما يخلو كتاب من الحق ، حتى كتب اليهود والنصارى وطوائف الضلال تمزج بين الحق والباطل

فالأوْلى بالمسلم أن يركز على ما ذكرناه سلفاً، فإنه آمَن للمسلم وأضمن له، وأبعَد له من أن يكرم من أهانه الله. ……………………. هذا ما أقوله إجابةً على هذا السؤال

“Sesungguhnya didalam kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, demikian pula dalam warisan pendahulu kita generasi salafus saleh yang suci dan bersih sudah mencukupi dari merujuk kepada kitab-kitab ahli bid’ah….. sama saja, apakah mereka menulisnya sebelum terjerumus kedalam bid’ah atau mereka menulis setelah terjatuh kedalamnya. Sebab diantara bentuk kemaslahatan kaum muslimin adalah memadamkan dan menghilangkan penyebutan ahli bid’ah. Maka bergantung kepada kitab-kitab mereka dengan tujuan mengambil faedah, akan mengangkat kedudukan mereka dan meninggikan posisi mereka didalam hati kebanyakan manusia. Diantara kemaslahatan kaum muslimin dan islam adalah memadamkan dan melenyapkan penyebutan tokoh- tokoh bid’ah dan kesesatan.

Tidak satupun kitab yang tidak ada kebenarannya, meskipun itu kitab-kitab kaum yahudi, nashara, dan kelompok-kelompok sesat yang mencampur adukkan antara yang hak dan yang batil. Maka lebih selamat bagi seorang muslim untuk memfokuskan dirinya dengan apa yang kami sebut tadi, sebab yang demikian lebih aman dan lebih terjamin, dan lebih jauh dari kekhawatiran dimuliakannya orang yang dihinakan Allah Azza Wajalla……….. Ini jawaban saya atas pertanyaan ini.”

(Dinukil dari makalah: hukum menghadiri pelajaran ahli bid’ah: http://www.sahab.net…ad.php?t=349426)

 

Aku berkata: inilah yang kami sebutkan dari perkataan para ulama yang kokoh ilmunya dari para imam salaf dalam memberi peringatan dari melihat kitab- kitab ahli bid’ah, padahal mereka jugalah yang membolehkan menukil riwayat dari seorang ahli bid’ah dengan memperhatikan syarat-syaratnya.

Sebagai contoh, Telah dinukil dari Imam Adz-Dzahabi Rahimahulah bahwa Beliau berkata: “Permasalahan ini belum diperjelas sebagaimana mestinya, dan yang nampak bagi saya adalah: bahwa siapa yang terjatuh kedalam satu bid’ah, dan tidak termasuk diantara tokoh- tokohnya, dan tidak pula tenggelam didalamnya, boleh diterima haditsnya sebagaimana yang dicontohkan oleh Al-Hafizh Abu Zakaria tentang mereka, dan hadits mereka disebutkan dalam kitab-kitab islam disebabkan karena kejujuran dan hafalan mereka.

(Siyaru A’laam An-Nubala: 7/154)

 

Aku berkata: dan Beliau (Imam Adz-Dzahabi) pulalah yang memberi peringatan dari kitab-kitab ahli bid’ah sebagaimana yang dinukil dari Beliau sebelumnya.

Dikuatkan pula dengan apa yang disebutkan Imam Malik Rahimahullah :

لا يؤخذ العلم من أربعة ويؤخذ من سوى ذلك ، لا يؤخذ من سفيه ولا يؤخذ من صاحب هوى يدعو الناس إلى هواه ولا من كذاب يكذب في أحاديث الناس وإن كان لا يتهم على حديث رسول الله ولا من شيخ له فضل وصلاح وعبادة إذا كان لا يعرف ما يحدث

“Tidak boleh diambil ilmu dari empat jenis manusia, dan boleh diambil dari yang lainnya: tidak boleh diambil ilmu dari orang yang dungu, tidak pula dari pengikut hawa nafsu yang mengajak kepada hawa nafsunya, tidak boleh pula dari pendusta yang berdusta dalam ucapan manusia, meskipun tidak tertuduh berdusta atas hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, tidak boleh pula dari seorang syaikh yang memiliki keutamaan dan kesalehan dan ibadah, jika dia tidak mengetahui apa yang dia beritakan.”

Berkata Syaikh Muhammad bin Saleh al-Utsaimin Rahimahullah: dan yang mengetahui dari ucapan syaikh –semoga Allah merahmati dan memberi taufik kepadanya- bahwa tidak boleh diambil sedikitpun dari pelaku bid’ah, meskipun yang tidak menyangkut bid’ahnya. Misalnya: jika kita mendapati seorang ahli bid’ah, namun dia bagus dalam ilmu bahasa arabnya, seperti ilmu balaghah, nahwu dan sharaf. Apakah boleh kami duduk di majelisnya dan mengambil ilmu yang dimilikinya ataukah kita memboikotnya? Yang nampak dari ucapan syaikh bahwa kita tidak boleh duduk dimajelisnya, sebab yang demikian menimbulkan dua kerusakan:

Pertama: dia (ahli bid’ah,pen) akan tertipu oleh dirinya sendiri sebab dia akan menyangka bahwa dia berada diatas kebenaran.

Kedua: orang lain pun akan tertipu dengannya, disaat para penuntut ilmu mendatangi majelisnya dan mengambil ilmu darinya, sedangkan orang awam tentu tidak bisa membedakan antara ilmu nahwu dan ilmu aqidah. Oleh karenanya, kami memandang bahwa seseorang tidak boleh duduk dimajelis para pengekor hawa nafsu dan bid’ah secara mutlak, meskipun dia tidak mendapati ilmu bahasa arab, balaghah dan sharaf misalnya kecuali dari mereka, niscaya Allah Ta’ala akan menggantikan yang lebih baik darinya. Sebab jika kita mendatangi mereka ini, dan seringkali mendatanginya tentu akan menyebabkan tertipunya mereka, dan tertipunya manusia dari mereka.”

(syarah hilyah thalibul ilmi:93-94)

 

 

Berkata pula Syaikh Khalid bin Abdurrahman Al-Mishri Hafizhahulah:

“Oleh karenanya, banyak dari kalangan para pemuda tatkala dia mengatakan: saya ingin mengambil ucapan dari ahli bid’ah yang baik tentang masalah surga, tentang pembersihan jiwa, dan seterusnya. Sebagaimana para ulama salaf dahulu mengambil riwayat dari mereka.

 

Maka kami katakan:

Memboikot ahli bid’ah sebagai bentuk celaan dan hinaan terhadap mereka. Bagaimana mungkin ahli bid’ah tersebut membuat majelis lalu didatangi oleh ribuan manusia? Apakah kehadiran dan mengambil ilmu tertentu dari orang tersebut seperti nasehat, bimbingan, memberi rasa takut, atau targhib dan tarhib, apakah ini termasuk dalam bentuk hajr (pemboikotan) atau bertentangan dengan hajr? Sebab dalam hal periwayatan, pada hakekatnya kita tidak mengambil ilmu dari mereka, namun kita mengambil apa yang diriwayatakan dari Nabi Shallallah Alaihi Wasallam jika dia seorang perawi yang jujur. Jadi, kita tidak mengambil ilmu yang dia berijtihad padanya, namun tatkala dia masuk melalui pintu zuhud dan pembersihan jiwa, lalu majelisnya didatangi dari sana dan sini, dan dia semakin dimuliakan dan banyak manusia yang tertipu dengannya. Thalaq bin Habib diterima riwayatnya oleh mayoritas ahlul hadits dan mereka memberi peringatan dari bermajelis dengannya! Maka berbeda antara mengambil riwayat dari ahli bid’ah dengan bergaul dengannya dan mengambil faedah darinya.Jelas?, mereka dahulu yang mengambil riwayat dari Thalaq dan yang semisal Thalaq, mereka pulalah yang memberi peringatan untuk bermajelis dengannya!, bukan hanya dalam pelajaran- pelajarannya, namun hanya sekedar mereka melihat ada seseorang yang duduk bersamanya, maka mereka langsung memberi peringatan darinya.”

(Al-Bayaanaat Al-Waadhihaat fii fiqhi manhajil muwaazanaat warraddu alaa ahlit tayhi wasy syataat, situs sahab:http://www.sahab.net…ad.php?p=703797)

 

Aku berkata: maka berbeda antara meriwayatkan hadits dari ahli bid’ah dengan memperhatikan beberapa ketentuan, dengan melihat dan menukil dari kitab- kitab mereka. Apakah telah jelas bagimu wahai orang yang selalu mencari- cari yang tersamarkan dari fatwa- fatwa para ulama?.

Namun saya berkata sebagai penutup makalah ini: jika didalam kitabullah Azza Wajalla terdapat ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih, maka terlebih lagi dalam perkataan para ulama. Namun sebagaimana yang difirmankan Allah Azza Wajalla:

فَأَمَّا الَّذِينَ في قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاء الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاء تَأْوِيلِهِ

 

Dari Aisyah Radhiyallahu anha berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam membaca ayat:

{هُوَ الَّذِيَ أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ في قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاء الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاء تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ الألْبَابِ }

“Dialah yang menurunkan Al-kitab (Al-Qur’an) kepada kamu, diantara isinya ada yang muhkamat, dan itulah pokok-pokok isi al-qur’an dan adapula yang mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari penakwilannya, padahal tidak ada yang mengetahui penakwilannya kecuali Allah, dan orang- orang yang dalam ilmunya berkata: Kami beriman kepada ayat- ayat tersebut, semuanya datang dari Rabb kami, dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran darinya kecuali orang- orang yang berakal.”

(QS.Ali Imran:7)

Lalu Aisyah berkata: Bersabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:

إذا رأيت الذين يتبعون ما تشابه منه فأولئك الذين سماهم الله فاحذروهم

“”Jika Engkau melihat orang- orang yang mengikuti ayat-ayat yang samar, maka mereka itulah orang- orang yang Allah sebut tentang mereka, maka berhati- hatilah kalian dari mereka.”

(muttafaq alaihi)

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك

 

 

http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=112719

(Artikel ini dibaca sebanyak : 408 kali)

Dinukil dari: http://www.salafybpp.com/5-artikel-terbaru/176-hukum-menukil-ucapan-ahli-bidah-bag-3.html

1 responses to “Hukum Menukil Ucapan Ahli Bid’ah

  1. Ping-balik: Menukil Kebenaran Dari Selain Ahlussunnah | ~Ruang Belajar ABU RAMIZA~

Tinggalkan komentar