Tag Archives: pakaian

Hukum Memakai Baju Olahraga Klub-Klub Eropa, Terlebih untuk Anak-anak


Dijawab oleh: Syaikh Shalih Fauzan al-Fauzan hafizhahullah

Seorang bertanya: Pada masa-masa akhir ini telah tersebar banyak pakaian-pakaian olahraga klub eropa. Kadang padanya ditemukan nama-nama pemain dan jiwa anak-anak kita terikat dengan para pemain itu … Apa hukum pakaian ini. Barakallahu fikum.

Syaikh menjawab:

TIDAK BOLEH kita memakai pakaian-pakaian orang kafir, kita bertasyabbuh (menyerupai) mereka. Demikian juga tidak pada pakaian-pakaian yang tertulis padanya nama-nama orang-orang kafir atau simbol-simbol orang-orang kafir atau lebih besar dari itu baik berupa salib atau yang semisalnya. Ini tidak boleh. Seorang muslim hendaknya memakai pakaian syari tidak memakai pakaian orang-orang kafir.

Sekarang -sangat disayangkan- tempat-tempat pajangan pakaian-pakaian dimana tidak engkau temukan disana pakaian sesuai dengan ketentuan syariat. Engkau hanya bisa mendapati di sana pakian barat baik untuk lelaki, wanita, besar atau kecil. Maka wajib seorang untuk menjauhi pakaian-pakaian ini dan tidak membelinya tidak memakainya dan tidak memakaikan pada keluarganya baik wanita atau anak-anak. Alhamdulillah, dia bisa membeli kain, dia potong lalu dia jahit sesuai dengan ketentuan syariat. …[1]

(Dari kajian Aqidatuna fil Wala’ wal Bara’ melalui http://www.sahab.net/ forums/index.php?showtopic=123708&view=findpost&p=608981)

Aslinya:

وهذا يسأل يقول : انتشرت في الآونة الأخيرة كثرة الملابس الرياضية للأندية الأروبية ، والتي ربما وجد على بعضها أسماء هؤلاء اللاعبين ويتعلق نفوس أبنائنا بهؤلاء اللاعبين .. فما حكم هذه الألبسة ؟ بارك الله فيكم . العلامة صالح الفوزان حفظه الله :لا يجوز لنا أن نلبس ملابس الكفار نتشبه بهم ولا الملابس المكتوب عليها أسماء الكفار أو رموز الكفار أو أعظم من ذلك الصليب أو ما أشبه ذلك لا يجوز هذا ، المسلم يلبس اللباس الشرعي ولا يلبس ملابس الكفار ، والآن مع الأسف معارض الألبسة ما تجد فيها ملابس على مقتضى الشريعة إنما تجد فيها ملابس غربية للذكور والإناث وللكبار وللصغار فعلى المسلم أنه يبتعد عن هذه الملابس ولا يشتريها ولا يلبسها ولا يُلَبّسها نساءَه ولا أطفاله ، الحمد لله يشتري قماشا ويفصله ويخيطه على الصفة الشرعية . نعم .


[1] Masalah menyerupai orang kafir pada perkara dhahir sangat mempengaruhi perkara bathin seseorang, baik pada pakaian atau yang lainnya. (tambahan)

Dinukil dari: http://salafys.wordpress.com/2011/11/04/hukum-memakai-baju-olahraga-klub-klub-eropa/

ADAB BERPAKAIAN DAN BERHIAS:Hukum Memakai Ghamis, Jubah, Baju Koko, Baju Batik, dan Surban


Penulis: Al Ustadz Hammad Abu Muawiah

Allah -Ta’ala- berfirman :

“Wahai bani Adam, telah kami turunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi auratkalian dan juga perhiasan. Sedangkan pakaian takwa , demikian itu lebih baik. Demikian itu adalah salah satu dari ayat-ayat Allah, agar mereka mau mengingatnya. Wahai Bani Adam, janganlah sampai syaithan menimpakan fitnah kepada kalian sebagaimana dia telah mengeluarkan kedua orang tua kalian dari surga, dan meninggalkan pakaian mereka berdua sehingga auratnya tersingkap. Sesungguhnya syaithan, dia dan pengikutnya dapat melihat kalian dari tmepat yang kalian tidak dapat melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan para syaithan sebagai wali bagi orang-orang yang tidak beriman.“ ( Al-A’raf : 26 – 27 ).

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash radhiallahu ‘anhuma, dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Makan, minum, bersedekah dan berpakainlah kalian tanpa berlebih-lebihan dan berbuat kesombongan” .

Di antara adab-adab mengenakan pakaian dan berhias : Wajibnya Menutup Aurat

  1. Haramnya Laki-laki Menyerupai Wanita Dan Wanita Menyerupai Laki-laki
  2. Haramnya Menyeret Kain Dengan Kesombongan
  3. Haramnya Pakaian Syuhroh (agar menjadi terkenal karena pakaian tersebut)
  4. Haramnya Emas Dan Sutra bagi Laki-laki Kecuali Ada Udzur
  5. Haramnya Wanita Menampakkan Perhiasannya Kecuali Kepada Mereka Yang Allah Kecualikan
  6. Haramnya Memakai Pakaian Yang Ada Padanya shalban (salib) atau gambar.
  7. Sunnahnya Memakai Pakaian Putih.
  8. Perhiasan Apa Saja Yang Haram Atas Wanita

*********************************************************************

Heriyanto said:
March 17th, 2009 at 7:30 am

Assalaamu’alaykum,
Ustadz, didalam Riyadhush shalihiin disebutkan dari Ummu Salamah, bahwa “Pakaian yang disukai oleh Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wa sallam adalah pakaian gamis”. Apakah hadits ini shahih?

Jawab:

Waalaikumussalam warahmatullah. Asy-Syaikh Al-Albani menshahihkan haditsnya dalam tahqiq beliau terhadap kitab Mukhtashar Asy-Syama`il Al-Muhammadiyah karya Imam At-Tirmizi, pada hadits no. 46. Wallahu a’lam.

*********************************************************************

Rahmat Fansurna said:
June 7th, 2009 at 7:19 am

Assalammualaikum.wrwb,
Ustadz saya mau tanya, boleh ga laki-laki kelihatan keduabelah bahunya pada saat sholat?
karena saya penah ikut pengajian di masjid, di buku Ensiklopedi Islam karangan Ustadz Quraish Shihab, tidak sah sholatnya laki-laki yang keduabelah bahunya pada saat sholat.
Buat jawabannya aq ucapin Syukron Kasiiron Ustadz. Jazakallah, Wassalam

Jawab:

Waalaikumussalam warahmatullah. Ia itu benar. Nabi -shallallahu alaihi wasallam bersabda-, “Jangan sekali-kali salah seorang di antara kalian shalat dengan hanya menggunakan satu helai kain, tidak ada sesuatu yang menutupi bahunya.” HR. Al-Bukhari dan Muslim

*********************************************************************

Abu Muhammad Abdul Malik al Faqir said:
December 11th, 2009 at 6:00 am

Assalaamu’alaykum,
Ummu Salamah menyatakan: “Pakaian yang disukai oleh Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wa sallam adalah pakaian gamis”.

Apakah hadits ini menunujkkan sunnahnya memakai pakaian gamis dan yang semisalnya?
Mohon penjelasan dari ustadz.

Baarokallaahu fiykum..

Jawab:

Waalaikumussalam warahmatullah.
Hadits Ummu Salamah di atas diriwayatkan oleh Abu Daud, An-Nasai, Ibnu Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan selainnya.

Kalau hadits ini shahih maka itu menunjukkan disunnahkannya memakai qhamish, hanya saja yang dimaksud dengan qhamish di sini bukan terbatas pada gamis yang kita kenal sekarang, akan tetapi yang dimaksud dengan qhamis di sini adalah semua pakaian yang mempunyai dua lengan dan kantong, dan disebutkan dalam riwayat At-Tirmizi bahwa panjang lengan qhamis beliau adalah sampai ke pergelangan tangan. Adapun panjangnya maka lahiriah hadits-hadits yang ada serta ucapan para ulama menunjukkan bahwa disunnahkan panjangnya sampai ke pertengahan betis dan boleh juga di bawahnya selama tidak melewati mata kaki. Wallahu a’lam. Lihat Aun Al-Ma’bud: 11/47-49

*********************************************************************

Acha At-Tamini said:
January 30th, 2010 at 3:22 pm

Bismillah,

Assalamu’alaykum ustadz,

mengutip dari perkataan asy-Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah. Beliau Berkata Faqiihuz Zamaan asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah,

“Apakah makna ittiba’ (meneladani sunnah) (dalam permasalahan pakaian) itu; mengikuti persis seperti apa yang dikenakan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam? Ataukah mengikuti jenis yang beliau pakai (yakni beliau mengikuti adat kebiasaan manusia pada waktu itu)? Jawabnya adalah yang kedua, yaitu mengenakan pakaian yang menjadi adat kebiasaan manusia pada waktu itu. Oleh karenanya kami tegaskan bahwa, sunnah dalam hal ini adalah mengenakan pakaian yang menjadi adat kebiasaan manusia, sepanjang tidak haram. Namun jika ternyata yang dikenakan oleh kebanyakan manusia tersebut adalah sesuatu yang diharamkan, maka wajib untuk menjauhinya.” (Syarhu Hilyati Tholibil ‘Ilmi, hal. 118)

Salah satu faidah yang ana dapatkan, bahwa termasuk perkara penting yang insya Allah bisa lebih mendekatkan dakwah kepada ummat adalah penampilan dan cara berpakaian seorang da’i yang mengikuti adat kebiasaan masyarakat di sekitarnya, sepanjang itu tidak dosa dan tidak bertentangan dengan sifat muruah (menjaga kehormatan).

Apakah dengan faidah tsb, bisa ditetapkan bahwasanya di negri kita indonesia, dimana kebanyakannya orang memakai sarung ketika shalat, itu lebih mendekati sunnah dibanding memakai gamis, dimana kebanyakan orang masih merasa asing dan yg memakainya terkadang suka diliatin oleh orang2 kebanyakan dan terlihat beda sendiri ketika berada di masyarakat awam. Pengalaman pribadi ana, malah jd terkadang ada bisikan setan, menjadi diri merasa paling sholeh diantara kebanyakan orang. Padahal ilmu masih rendah.

Mohon penjelasannya ustadz.
Jazaakallaahu khairan wa barakallaahu fiik.

Jawab:

Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Jazakallahu khairan atas nukilan di atas, sungguh ucapan tersebut menunjukka kefaqihan dan hikmah dari yang mengucapkannya -rahimahullahu Ta’ala-.

Seperti yang sudah dimaklumi bahwa jubah bukanlah sunnah secara mutlak, akan tetapi dia adalah sunnah jibilliyah, sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama. Maksudnya adalah bahwa pakaian tersebut merupakan adat orang arab lalu Nabi r pun memakainya karena itulah pakaian manusia di zaman tersebut. Karenanya memakai jubah hanya menjadi ibadah dan mendapatkan pahala jika diniatkan untuk mengikuti Nabi  Sholalohu ‘Alaihi Wassallam dan hanya bernilai adat (tidak berpahala) jika tanpa diniatkan mengikuti Nabi Sholalohu ‘Alaihi Wassallam.

Adapun masalah pemakaian sarung dan jubah maka dikembalikan kepada hal di atas, tapi yang jelas termasuk kekeliruan jika yang berjubah menegur dan menyalahkan orang yang pakai sarung, karena selama pakaian itu menutupi aurat dan tidak menyerupai kaum kafir maka insya Allah hal itu diperbolehkan.

Kembali kepada masalah sarung dan jubah, yang mana yang lebih utama?
Kita katakan: Ini tentunya dikembalikan kepada setiap tempat dan daerah. Jika di tempat tersebut jubah masih asing maka sepantasnya dan lebih utama dia pakai sarung, dan demikian pula sebaliknya. Wallahu a’lam. Hanya saja yang butuh ditekankan di sini bahwa jubah bagi masyarakat indonesia secara umum -kecuali beberapa daerah- adalah hal yang sudah masyhur. Dari zaman pangeran diponegoro, imam bonjol, bahkan dalam sejarah wali songo yang ditayangkan di TV (terlepas dari benar tidaknya kisah tersebut) yang juga menampilkan pemerannya dengan berjubah, bahkan sampai di zaman ini para habaib dan juga kaum muslimin yang pulang dari haji, mereka semua mengenakan jubah. Maka salah juga kalau dikatakan memakai jubah di indonesia ini tidak sejalan dengan adat kebiasaan manusia, wallahu a’lam bishshawab.

*********************************************************************

Abu Abdil Halim said:
March 5th, 2010 at 2:40 pm

Assalamu’alaikum Ustadz,

Sebagian kaum muslimin berpandangan bahwa dalam kehidupan umum, seorang muslimah wajib mengenakan jilbab (=jubah).

[[Adapun dalil bahwa jilbab merupakan pakaian dalam kehidupan umum, adalah hadits yang diriwayatkan dari Ummu ‘Athiah RA, bahwa dia berkata :

‘Rasulullah SAW memerintahkan kaum wanita agar keluar rumah menuju shalat Ied, maka Ummu ‘Athiyah berkata,’Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab?” Maka Rasulullah SAW menjawab: ‘Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya!’(Muttafaqun ‘alaihi) (Al-Albani, 2001 : 82).

Berkaitan dengan hadits Ummu ‘Athiyah ini, Syaikh Anwar Al-Kasymiri, dalam kitabnya Faidhul Bari, Juz I hal. 388, mengatakan : “Dapatlah dimengerti dari hadits ini, bahwa jilbab itu dituntut manakala seorang wanita keluar rumah, dan ia tidak boleh keluar [rumah] jika tidak mengenakan jilbab.” (Al-Albani, 2001 : 93).]]

Karena jilbab itu pakaian terusan, maka tidak dibolehkan untuk mengenakan potongan (terdiri dari dua potong: atas dan bawah). Apakah walaupun sudah menutup aurat, seorang muslimah masih harus mengenakan jubah? Kalau tidak, bagaimana kita memahami hadis di atas?

Baarokallaahu fiikum wa nafa’a bikum.

Jawab:

Waalaikumussalam warahmatullah.

Jilbab tidak sama dengan jubah. Jilbab kata Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid adalah, “Pakaian tebal yang digunakan wanita dari kepalanya hingga ke kedua kakinya, yang mana jilbab ini menutupi semua tubuhnya dan juga menutupi pakaian serta perhiasan yang ada di dalamnya.”
Jilbab inilah yang dinamakan mula`ah, milhafah, rida`, ditsar, dan kisa`. Dan inilah yang dikenal dengan aba`ah yang banyak dipakai oleh wanita di jazirah arab.

Cara memakainya: Seorang wanita memasukkan jilbab ini pada kepalanya, lalu membiarkannya menutupi khimarnya (penutup kepala sampai ke dadanya) serta menutupi tubuh dan perhiasannya, sampai menutupi kedua kakinya. Jadi, khimar di dalam terlebih dahulu baru jilbab di luar.
Tidak diragukan, cara seperti ini lebih utama. Tapi yang menjadi masalah, apakah cara selain ini tidak diperbolehkan?

Yang nampak -wallahu a’lam-, yang menjadi tujuan hijab adalah seorang wanita menutupi seluruh tubuh dan perhiasannya. Karenanya kapan seorang wanita telah menutupi seluruh tubuh dan perhiasannya walaupun dengan menggunakan dua kain atau dua potongan, maka dia telah melaksanakan perintah. Karenanya kami tidak sependapat dengan yang tidak membolehkan memakai dua potongan. Yang benarnya hal itu diperbolehkan insya Allah, berdasarkan dalil-dalil umum akan syariat hijab, dimana dalil-dalil tersebut tidak menyebutkan kaifiat tertentu dalam memakai hijab tersebut.

Hanya saja kembali kami tekankan bahwa cara yang disebutkan di atas, itulah yang lebih utama. Wallahu a’lam

O ia, terkait beberapa atsar sebagian sahabat yang antum pertanyakan. Alhamdulillah kami sempat menanyakan hal itu kepada Asy-Syaikh Abdullah Mar’i di makassar kemarin. Ana sudah memahami makna jawaban beliau, akan tetapi sengaja belum ana tampilkan karena ana masih menunggu rekaman nash ucapan beliau untuk ana terjemah. Insya Allah menukil ucapan beliau sesuai lafazhnya itu lebih berberkah

*********************************************************************

ummu hanif said:
April 27th, 2010 at 5:36 am

assalamu’alaykum, sekarang ini hari jum’at sdh identik dengan hari batik. sementara bagi lelaki muslim ada shalat jum’at. sangat disayangkan sekali teman kantor ana yg biasanya pakai baju koko utk shalat jum’at sekarang ini beralih ke batik dengan alasan hari batik nasional. mohon bantuannya agar ana dapat mengingatkan teman ana dengan ilmu dan santun. jazakallahu khair

Jawab:

Waalaikumussalam warahmatullah.

Saya rasa tidak ada yang butuh dipermasalahkan di sini, selama pakaian yang dikenakan untuk shalat adalah menutup apa yang seharusnya ditutup dan dianggap sopan juga oleh manusia. Lagipula baju koko bukanlah pakaian yang diharuskan dalam shalat jumat dan juga shalat selainnya. Bahkan menurut pengabaran beberapa ikhwan, bahwa di bekasi sini ada sebuah tempat dimana umat nashrani datang ke gereja dengan memakai koko dan kopiah hitam. Mereka beralasan bahwa kedua pakaian ini adalah pakaian nasional betawi dan bukan pakaian khusus umat Islam.

Ala kulli hal, kembali kepada inti permasalahan, tidak ada yang butuh dipermasalahkan dari teman anda yang memakai batik dalam shalat jumat, selama apa yang kami sebutkan di atas terpenuhi. Wallahu a’lam

*********************************************************************

umar m alfath said:
May 31st, 2010 at 3:24 am

assalamu’alaikum wr wb.
saya mau tanya, kalau fungsi sorban untuk apa ya? selama ini saya sholat dengan sorban,tapi sorban tersebut saya pakai untuk sajadah ( alas sujud )sekaligus sebagai pembatas dalam sholat ?
bagaimana idealnya kita berpakaian saat sholat menurut sunnah rosul ?
trimakasih atas jawaban yang diberikan, mohon dijawaban di cc kan ke email saya.
wasalamu’alaikum

Jawab:

Waalaikumussalam warahmatullah.

Sorban itu dipakai dan dililitkan di kepala. Hukumnya sunnah jika dia meniatkan untuk mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Adapun pakaian dalam shalat maka:

1. Menutup apa yang diperintahkan oleh syariat untuk ditutup.

2. Tidak ketat dan transparan yang karenanya aurat bisa terlihat atau terbentuk.

3. Tidak ada sesuatu pada pakaian tersebut yang bisa membuat orang yang shalat atau orang di belakangnya menjadi tidak khusyu’.

4. Hendaknya memakai pakaian yang sopan dan indah, karena dia akan menghadap Allah Ta’ala.

Tentunya disertakan dengan ketentuan pakaian secara umum, seperti:
1. Tidak menyerupai pakaian orang kafir.
2. Bukan pakaian syuhrah.
3. Tidak isbal (menutupi mata kaki) bagi laki-laki.

Wallahu a’lam

Dinukil dari: http://al-atsariyyah.com/adab-berpakain-dan-berhias.html

Bisanya Cuman Nyontek


Penulis: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah

Perhatikanlah! remaja-remaja yang “mejeng” di mall-mall, pinggir-pinggir jalan atau di pusat-pusat hiburan, maka kita akan melihat pemandangan yang sangat mengherankan. Yang laki-laki kepalanya botak sebelah, rambutnya dicat, pakai anting-anting, kalung, dan lain sebagainya. wanitanya pun tak mau kalah, mereka tidak malu lagi dengan pakaian ketat yang kelihatan pusarnya, rok mini dengan kaos you can see, dan potongan rambut yang tidak karuan. ini semua akibat termakan oleh propaganda yang datang dari negeri barat yang didominasi oleh Yahudi dan Nashrani. Janganlah heran jika lambat laun mode Yahudi dan Nashrani yang menjadi panutan. Padahal Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:

” Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim ” . ( QS.Al Maidah :51 )

Namun ironisnya, sebagian besar remaja kita bangga dengan hal tersebut. mereka bangga dengan pakaian ala barat yang dikenakannya; mereka bangga jika dapat meniru model rambut mereka, mereka bangga jika dapat meniru gaya bicara mereka. Padahal Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- telah mengancam,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum tersebut” (HR. Abu Dawud (4031), Ahmad (5114), Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (8327), Ibnu Manshur dalam As-Sunan (2370). Di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (4347)

Al-Imam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- berkata, “Hadits ini serendah-rendahnya mengharuskan pengharaman tasyabbuh (menyerupai orang kafir atau fasiq)”. [Lihat Iqtidho’ Ash-Shiroth Al-Mustaqim (83)]

Jadi, tingkatannya sesuai dengan kadar keterlibatannya dalam meniru orang-orang kafir. jika ternyata yang ditirunya adalah perbuatan kekafiran atau kemaksiatan, maka orang tersebut dihukumi sama dengan pihak yang ditirunya.

Perbuatan menyimpang seperti ini merupakan hal yang bersifat naluria, karena setan menampakkan perbuatan ini di hadapan pelakunya sebagai perbuatan baik. Oleh karena itu, para hamba Allah diperintahkan untuk terus memohon kepada Allah agar diberi keteguhan hati berada dalam hidayah-Nya, sehingga tidak bersikap seperti kaum Yahudi dan Nashrani.

Ketahuilah! tujuan diturunkannya syariat Islam adalah untuk menyelisihi orang-orang non-muslim. Ini merupakan suatu cara untuk menampakkan Islam sebagaimana yang telah diterapkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam hadits-hadits berikut:

Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

جُزُّوْا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوْا اللِّحَى وَخَالِفُوْا الْمَجُوْسَ

potonglah kumis kalian dan peliharah jenggot kalian; berbedalah kalian dari golongan Majusi (penyembah api)” [HR. Muslim dalam shohih-nya (260), dan Ahmad dalam Al-Musnad (8771) ]

Hadits tersebut diakhiri dengan perintah yang selaras dengan bagian awalnya, karena perintah menyelisihi orang-orang majusi ialah dengan memotong kumis. Sebab itu merupakan ciri khas mereka yaitu memanjangkan kumis dan memotong jenggot. Oleh karena itu, Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan kita agar menyelisihi mereka.

Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

اُعْفُوْا اللِّحَى وَخُذُوْا الشَّوَارِبَ وَغَيِّرُوْا شَيْبَكُمْ وَلَا تَشَبَّهُوْا بِالْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى

“Biarkanlah jenggot kalian tumbuh, cukurlah kumis kalian, ubahlah (semirlah) uban kalian, dan janganlah kalian menyerupai orang Yahudi dan Nashrani ”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (8657). Di-shohih-kan oleh Al-Arna’uth dalam Takhrij Al-Musnad (2/356)]

Penyerupaan dalam penampilan lahiriah akan berpengaruh untuk menumbuhkan kasih, cinta, dan kesetiaan dalan batin sebagaimana kecintaan dalam batin akan berpengaruh untuk menimbulkan penyerupaan dalam penampilan lahiriah. Ini adalah masalah yang nyata, baik secara perasaan maupun dalam prakteknya.

Rasulullah –Shollallahu ‘alaihi wasallam– bersabda,

خَالِفُوْا الْيَهُوْدَ فَإِنَّهُمْ لَا يُصَلُّوْنَ فِيْ نِعَالِهِمْ وَلَا خِفَافِهِمْ

”Kalian harus menyelisihi kaum yahudi karena mereka tidak mau shalat dengan memakai sandal ataupun terompah mereka” . [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (652). Di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ats-Tsamr Al-Mustathob (hal.351)]

Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ

“Perbedaan antara puasa kita dan puasa golongan Ahli Kitab adalah makan sahur”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (1096), Abu Dawud dalam Sunan -nya (2343), An-Nasa’iy dalam Sunan-nya (2166), dan Ahmad dalam Musnad-nya (17796)]

Abu Abdillah Al-Qurthubiy-rahimahullah- berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa sahur merupakan ciri khas ummat ini (Islam). Diantara perkara yang diberi keringanan di dalamnya, yaitu makan sahur”. [Lihat Ad-Dibaj Syarh Shohih Muslim Ibnil Hajjaj (3/197)]

Ini semua menunjukkan bahwasanya menyelisihi orang-orang kafir adalah tujuan pokok syariat. Namun sangat disayangkan, karena jauhnya umat Islam dari agamanya dan enggannya mereka mempelajari agamanya, semua ini menyebabkan mereka terjatuh di dalam kesalahan ini yaitu meniru kaum kafir mulai dari pakaian, dan cara berpakaian, tradisi, adat, bahasa, perayaan hari raya, dan hari-hari peringatan mereka seperti Hari Valentine, Hari Haloween, dan lain-lain. Sehingga Islam tinggallah sebuah nama. Mengaku muslim, namun pakiannya serba ketat, bahkan nyaris telanjang. Tidak ada lagi ciri-ciri keislaman pada dirinya, sehingga kita sulit membedakan antara wanita muslimah dan wanita kafir; sama-sama tidak memakai jilbab. Kalaupun pakai, yah asal-asalan saja, tanpa memenuhi standar. Padahal jilbab yang sayr’i adalah jilbab yang menutupi seluruh tubuh, tebal (tidak transparan), longgar (tidak ketat sehingga membentuk lekuk tubuh), tidak menyerupai pakaian wanita kafir, dan laki-laki.. [Lihat Jilbab Al-Mar’ah]

Begitulah realita umat ini, mereka mengikuti langkah-langkah Yahudi dan Nashrani, sejengkal demi sejengkal hingga andai mereka masuk ke lubang biawak pun, niscaya umat Islam akan mengikutinya. Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- telah lama memperingatkan tentang bahaya mengikuti jalan, dan gaya hidup mereka

Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

لَتَتَّبِعُنَّ سُنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرِاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوْا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوْهُ قُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى ؟ قَالَ : فَمَنْ ؟

Sungguh kalian akan mengikuti jejak umat-umat sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehingga kalau mereka masuk ke dalam lubang biawak, niscaya kalian pun akan masuk ke dalamnya”. Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, apakah kaum Yahudi dan Nashara? Maka beliau menjawab:” Siapa lagi(kalau bukan mereka)?”.[HR. Bukhariy dalam Shohih-nya (3269 & 6889), Muslim dalam Shohih-nya (2669), Ahmad dalam Musnad-nya (11817&11861)]

Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِيْ بِأَخْذِ الْقُرُوْنِ قَبْلَهَا شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ . فَقِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ كَفَارِسِ وَالرُّوْمِ ؟ فَقَالَ : وَمَنِ النَّاسُ إِلَّا أُوْلَئِكَ ؟

Kiamat tidak akan terjadi sampai umatku mengikuti apa yang terjadi pada kurun-kurun sebelumnya. sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta”. lalu ada yang bertanya : “wahai Rasulullah apakah seperti bangsa persia dan Rumawi? beliau menjawab: “manusia siapa lagi kalau bukan mereka”.[HR. Bukhariy (6888) dalam Shohih-nya, dan Ahmad dalam Al-Musnad (8414)]

Disini Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- memberitahukan bahwa di tengah-tengah umatnya akan ada orang-orang yang meniru perilaku kaum yahudi dan nasrani, dan ada juga yang meniru bangsa Persia dan Romawi. Hal tersebut telah menjadi kenyataan pada hari ini. Lihatlah ketika orang-orang Nashrani merayakan tahun baru mereka, maka umat Islam mengikuti mereka dengan merayakan tahun baru hijriyah atau tahun baru Masehi itu sendiri. Ketika orang Nashrani merayakan kenaikan Isa Al-Masih, maka umat Islam mengikuti mereka dengan merayakan Isra’ dan Mi’raj. Ketika orang Nashrani merayakan hari lahirnya Isa Al-Masih, maka umat Islam mengikuti mereka dengan merayakan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, dan lain-lain.

Padahal Allah dan Rasul-Nya tidak pernah memerintahkan mereka untuk merayakan hari-hari itu; tidak satu ayat pun atau hadits shahih yang menjelaskan tentang disyariatkannya memperingati hari-hari tersebut. Para sahabat -radhiyallahu ‘anhum- tidak pernah mencontohkan hal itu. Apakah mereka (yang merayakan perayaan-perayaan ini) merasa lebih baik dan lebih alim daripada Rasulullah dan para sahabatnya? Sehingga ada suatu kebaikan yang luput dari Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- yang tidak disampaikan oleh beliau kepada umatnya. Padahal Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

“Tidak ada seorang nabi pun sebelumku kecuali wajib baginya untuk menunjukkan kepada umatnya suatu kebaikan yang dia ketahui untuk mereka dan memperingatkan umatnya dari kajelekan yang dia ketahui untuk mereka”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (1844)An-Nasa’iy (4191), dan Ibnu Majah (3956)]

Tragisnya lagi, jika umat ini mengikuti yahudi dan nashrani dalam perkara yang berkaitan dengan aqidah, seperti menjadikan kubur-kubur sebagai masjid. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- memperingatkan dengan keras kepada umatnya agar jangan menjadikan kubur sebagai masjid. sebagaimana yang banyak diterangkan dalam hadits.

A’isyah -radhiyallahu ‘anha- berkata, “Pada suatu hari Ummu Salamah menceritakan pengalamannya kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tentang sebuah gereja bernama Mariah yang pernah ia saksikan di Habasyah ( Ethiopia) yang penuh dengan gambar. Lalu Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

أُوْلَئِكَإِذَامَاتَمِنْهُمُالرَّجُلُالصَّالِحُبَنَوْاعَلَىقَبْرِهِمَسْجِدًاثُمَّصَوَّرُوْافِيْهِتِلْكَالصُّوْرَةَأُوْلَئِكَشِرَارُالْخَلْقِعِنْدَاللهِ

“Mereka adalah kaum yang apabila ada seorang yang shalih atau yang baik diantara mereka meninggal dunia, mereka membangungkan masjid di atas kuburannya dan membuat patung-patung di dalamnya. patung-patung itu. Mereka adalah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah [HR. Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (434), Muslim dalam Shohih-nya (568)]

Hendaknya setiap orang yang membangun masjid di atas kuburan atau memasukkan kuburan ke dalam lokasi masjid takut terhadap laknat dari Allah -Ta’ala-. Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda,

لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبَيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

“Laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nashara yang menjadikan kubur-kubur nabi mereka sebagai masjid”. Beliau memperingatkan terhadap apa yang mereka lakukan itu. [HR. Al-Bukhari (435) dan Muslim (531)]

Kalau orang yang menjadikan kubur para nabi sebagai masjid saja diancam sedemikian keras, bagaimana lagi kalau yang dijadikan masjid adalah kubur orang yang dianggap wali atau orang shalih lainnya? bagaimana pula dengan kuburnya tokoh-tokoh tertentu yang tidak diketahui asal-usulnya, apakah mereka orang shalih atau tidak?

Semoga tulisan ini bermamfaat bagi kaum muslimin sehingga berhati-hati untuk tidak mengekor kepada orang-orang kafir dalam segala aspek kehidupan baik aqidah, ibadah, ucapan maupun perbuatan sehingga kita tidak termasuk orang-orang diancam oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dalam firman-Nya,

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisa :115)

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 50 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

Sumber :http://almakassari.com/?p=225

Dinukil dari: http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=1082

Pakaian ketika sholat


Penulis: Syaikh Abu ‘Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Salman

 

Muqadimah

Pakaian sebagai kebutuhan primer kita sehari-hari sangat layak diperhatikan terlebih ketika kita menghadap Allah di dalam sholat. Kita diharuskan berpakaian bersih suci dari segala jenis najis dan menutup aurat. Permasalahan bersih dari najis, tentu kita sudah banyak yang memahaminya. Tetapi tentang menutup aurat? Seperti bagaimanakah pakaian yang seharusnya dikenakan di waktu sholat? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan kita kupas pada rubrik ahkam kali ini lewat tulisan Syaikh Masyhur Hasan Salman dalam sebuah karya beliau yang berjudul Al Qaulul Mubin fi Akhtha`il Mushallin (Keterangan yang jelas tentang kesalahan orang-orang yang sholat) yang diterbitkan oleh penerbit Dar Ibni Qayim, Arab Saudi hal 17-32. Beliau termasuk murid senior Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, pakar hadits abad ini yang karya-karyanya sudah beredar di seluruh dunia dan menjadi rujukan para thalibul ‘ilmi.

Tasyabuh dalam Berpakaian

Sebuah riwayat dalam Shahih Muslim disampaikan dengan sanadnya sampai kepada Abu Utsman An Nahdi, ia berkata, “Umar pernah mengirim surat kepada kami di Azerbaijan yang isinya: ‘Wahai Utbah bin Farqad! Jabatan itu bukan hasil jerih payahmu dan bukan pula jerih payah ayah dan ibumu. Karena itu kenyangkanlah kaum muslimin di negeri mereka dengan apa yang mengenyangkan di rumahmu[1], hindarilah bermewah-mewah, memakai pakaian ahli syirik dan memakai sutera.”

Dalam Musnad Ali bin Ja’ad ada tambahan, “…pakailah sarung, rida’ (jubah), dan sandal serta buanglah selop dan celana panjang… pakailah pakaian bapak kalian Ismail, hindarilah bernikmat-nikmat dan hindarilah pakaian orang-orang asing.” (Riwayat Ali bin Ja’ad dan Abu Uwanah dengan sanad shahih).

Waki’ dan Hanad meriwayatkan ucapan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu di dalam Az Zuhd, beliau berkata, “Pakaian tidak akan serupa hingga hati menjadi serupa.” (Sanadnya dha’if).

Ucapan beliau ini diambil dari sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum itu.” (HSR Abu Dawud, Ahmad, dan selainnya).

Dari sinilah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan rakyatnya agar membuang selop dan celana panjang serta memerintahkan mereka mengenakan pakaian yang biasa dikenakan orang Arab, yaitu dengan tujuan memlihara kepribadian mereka agar jangan condong kepada orang-orang ‘ajam.

Perbuatan tasyabuh (dalam hal pakaian) yang dilakukan oleh umat ini kepada musuh-musuhnya merupakan tanda lemahnya iltizam mereka dan lemahnya akhlak mereka. Mereka telah ditimpa penyakit bunglon dan bimbang. Perjalanan mereka pun guncang seperti benda padat yang telah cair, siap dileburkan dalam berbagai bentuk di setiap waktu. Bagaimana pun juga tasyabuh ini merupakan penyakit yang jelek. Perumpamaannya seperti seorang yang menisbatkan dirinya kepada orang lain selain ayahnya. Mereka tidak disukai oleh umat yang melahirkan mereka, tidak pula diakui umat yang mereka tiru dan cintai.

Mungkin timbul pertanyaan: Kenapa para ulama tidak berupaya meluruskan kebiasaan atau adat ini sebelum menjadi perkara besar? Jawabannya: Sesungguhnya para ulama telah berupaya keras meluruskannya, akan tetapi dalam berhadapan dengan kenyataan bahwa yang mayoritas mengalahkan yang minoritas sehingga upaya para ulama tersebut tidak banyak memberikan hasil. Banyak dari kaum muslimin merasa pada posisi yang sulit di tengah-tengah adat dan pakaian kaum musyirikn padahal di antara mereka ada yang dikenal alim. Mereka inilah yang menjadi contoh jelek bagi kaum muslimin, wal ‘iyadzu billah.[2]

Lebih parah lagi di antara mereka ada yang meninggalkan shalat hanya karena khawatir pantalonnya berkerat-kerut hingga merusak penampilan. Hal ini banyak kita dengan dari mereka. Karena itu di antara upaya menghidangkan sunnah di hadapan umat, kami bawakan beberapa kriteria pakaian sholat yang sepatutnya diperhatikan seorang muslim supaya terhindar dari hal-hal tersebut di atas.

Pakaian dalam Sholat

Kriteria tersebut adalah:

1. Tidak ketat sehingga menggambarkan bentuk aurat.

Mengenakan pakaian ketat jelas tidak disukai syariat dan kedokteran karena efeknya berbahaya bagi badan. Bahkan ada yang saking ketatnya hingga membuat pemakainya tidak dapat sujud. Bila karena mengenakannya seseorang meninggalkan sholat, maka jelas pakaian semacam ini haram. Dan memang kenyataan menunjjukkan bahwa mayoritas orang yang mengenakan pakaian semacam ini adalah orang-orang yang tidak sholat.

Demikian pula banyak di antara kaum muslimin di jaman ini yang menunaikan sholat dengan pakaian yang membentuk kedua kemaluan atau membentuk salah satunya. Al Hafizh Ibnu Hajar meceritakan sebuah riwayat dari Asyhab tentang seseorang yang sholat hanya dengan menggunakan celana panjang (tanpa ditutupi sarung atau jubah atau gamis), beliau berkata, “Hendaknya ia mengulangi sholatnya ketika itu juga kecuali bila celananya tebal.” Sedangkan sebagian ulama Hanafiyah memakruhkan hal itu. Padahal saat itu keadaan celana panjang mereka sangat longgar, lalu bagaimana dengan celana pantalon yang sangat sempit?!

Syaikh Al Albani berkata, “Celana pantalon mengandung dua cela.

Pertama, orang yang menggunakannya berarti bertasyabuh dengan kaum kafir. Pada mulanya kaum muslimin mengenakan celana panjang yang luas dan longgar yang sekarang masih digunakan oleh sebagian orang di Suriah dan Libanon. Mereka sama sekali tidak mengenal celana pantalon, kecuali setelah mereka ditaklukkan dan dijajah. Kemudian setelah kaum penjajah takluk dan mengundurkan diri mereka meninggalkan jejak yang buruk, lalu dengan kebodohan dan kejahilan kaum muslimin melestarikan peninggalan mereka tadi.

Kedua, celana pantalon dapat membentuk aurat, sedangkan aurat laki-laki adalah dari lutut hingga pusar. Ketika sholat seorang muslim seharusnya amat jauh dari keadaan bermaksiat kepada RabbNya, namun bagi mereka yang menggunakan celana pantalon, anda akan melihat kedua belahan pantatnya terbentuk, bahkan dapat membentuk apa yang ada di antara kedua pantatnya tersebut. Bagaimana muungkin orang yang dalam keadaannya semacam ini dikatakan sholat dan berdiri di hadapan Rabbul ‘Alamin?!

Anehnya banyak di antara pemuda muslim yang mengingkari wanita-wanita berpakaian ketat atau sempit karena membentuk bodinya sementara mereka sendiri lupa akan diri mereka. Mereka sendiri terjatuh pada hal yang diingkari, sebab tidak ada perbedaan antara wanita yang berpakaian sempit dan membentuk tubuhnya dengan pria yang memakai celana pantalon yang juga membentuk pantatnya. Pantat pria dan pantat wanita keduanya sama-sama aurat. Karena itu wajib bagi para pemuda untuk segera menyadari musibah yang telah melanda mereka kecuali orang yang dipelihara Allah, namun mereka sedikit[3].

Adapun bila celana pantalon tersebut luas, maka sah sholat dengannya. Namun akan lebih utama bila di atasnya ada gamis yang menutup antara pusar hingga lutut atau lebih rendah hingga pertengahan betis atau mata kaki. Yang demikian lebih sempurna dalam menutup aurat[4]. (Al Fatawa 1/69 oleh Syaikh bin Baz).

2. Tidak tipis dan tidak transparan

Sebagaimana makruh (dibenci)nya sholat dengan pakaian ketat yang menggambarkan bentuk aurat, maka demikian pula tidak boleh sholat dengan pakaian yang tipis yang tampak secara transparan apa yang ada di baliknya seperti pakaian sebagian orang yang gila mode di jaman ini, mereka poles apa yang dianggap aib oleh syariat hingga tampak indah. Mereka adalah tawanan-tawanan syahwat, budak-budak adat dan mereka mempunyai propagandis yang menyerukan propaganda-propaganda, menawarkan mode-mode baru, “Inilah yang terbaru, inilah yang trendi, tidak kolot dan kuno[5].”

Termasuk dalam bab ini adalah sholat dengan mengenakan pakaian tidur “piyama”. Sebuah riwayat yang dibawakan oleh Imam Bukhari di dalam Shohihnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Pernah ada seseorang yang datang menjumpai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu bertanya tentang sholat dengan mengenakan satu pakaian. Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Bukankah setiap kalian mampu mendapatkan dua pakaian!?”

Kemudian seseorang bertanya kepada Umar, lalu Umar menjawab, “Bila Allah memberikan kelapangan seseorang hendaknya ia sholat dengan sarung dan jubah, atau sarung dan gamis, atau sarung dan mantel (jubah luar), atau celana panjang dan gamis atau celana panjang dan jubah, atau celana panjang dan mantel, atau celana pendek dan mantel, atau celana pendek dan gamis (yang menutupi sampai bawah lutut, red).” (Muttafaqun ‘alaihi).

Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu pernah melihat Nafi’ sholat sendiri dengan mengenakan satu pakaian. Lalu beliau berkata padanya, “Bukankah saya memberimu dua pakaian?” Nafi’ menjawab, “Benar.” Ibnu Umar bertanya pula, “Apakah kamu pergi ke pasar dengan mengenakan satu pakaian?” Nafi’ menjawab, “Tidak.” Ibnu Umar berkata, “Allah yang lebih berhak bagimu berhias untukNya.”[6]

Demikian pula orang yang sholat dengan pakaian tidur, tentunya ia malu pergi ke pasar dengannya karena tipis dan transparan.

Ibnu Abdil Barr dalam At Tahmid 6/369 mengatakan, “Sesungguuhnya ahli ilmu menganggap mustahab bagi seseorang yang mampu dalam pakaian agar berhias dengan pakaian, minyak wangi dan siwaknya, ketika sholat sesuai dengan kemampuannya.”

Para fuqaha dalam membahas syarat-syarat sahnya sholat yaitu pada pembahasan “Menutup Aurat”, mereka mengatakan, “Syarat bagi pakaian penutup adalah tebal, tidaklah sah bila tipis dan mengesankan warna kulit.”

Semua ini berlaku bagi pria dan wanita, baik pada sholat sendiri ataupun sholat berjamaah. Dengan demikian siapa saja yang terbuka auratnya padahal ia mampu menutupnya, maka sholatnya tidak sah walaupun sholat sendiri di tempat yang gelap, karena sudah merupakan ijma’ akan wajibnya menutup aurat di dalam sholat.

Allah ta’ala berfirman,

يَا بَنِيْْ آدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ

“Wahai anak Adam! Pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (Al A’raf: 31).

Yang dimaksud dengan zinah (perhiasan) pada ayat di atas yaitu pakaian, sedangkan yang dimaksud dengan masjid yaitu sholat. Artinya, “Pakailah pakaian yang menutup aurat kalian ketika sholat.”

Ucapan Umar radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan jenis-jenis pakaian yang menutup atau yang banyak dipakai tersebut merupakan dalil akan wajibnya sholat dengan pakaian yang menutup aurat. Beliau menggabungkan yang satu dengan yang lain bukan berarti pembatasan, akan tetapi yang satu bisa mengganti kedudukan yang lain. Adapun mengenakan satu pakaian hanya boleh dilakukan dalam keadaan yang mendesak atau terpaksa. Di sana juga terdapat faidah bahwa sholat dengan dua pakaian itu lebih afdhol daripada dengan satu pakaian. Dan Al Qodhi Iyadh telah menegaskan ijma’ dalam hal ini.[7]

Berkata Imam Syafi’i rahimahullah, “Bila seseorang sholat dengan gamis yang transparan[8], maka sholatnya tidak sah.”[9]

Beliau juga berkata, “Yang lebih parah dalam hal ini adalah kaum wanita bila sholat dengan daster (pakaian wanita di rumah) dan kudung, sedangkan daster menggambarkan bentuk tubuhnya. Saya lebih suka wanita tersebut sholat dengan mengenakan jilbab yang lapang di atas kudung dan dasternya sehingga tubuh tidak terbentuk dengan daster tadi.”[10]

Untuk itu hendaknya kaum wanita tidak sholat dengan pakaian yang transparan seperti pakaian dari nilon dan sejenisnya, karena bahan jenis ini walaupun luas dan menetup seluruh tubuh namun selalu terbuka atau membentuk. Dalilnya adalah sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

سَيَكُوْنُ فِي آخِرِ أُمَّتِيْ نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ…

“Akan ada kelak pada umatku wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang…” (HR Malik dan Muslim).

Ibnu Abdil Barr berkata, “Yang dimaksud oleh Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wanita yang mengenakan pakaian tipis atau mini yang membentuk tubuh dan tidak menutup auratnya. Mereka disebut berpakaian tetapi pada hakekatnya telanjang.”[11]

Diriwayatkan dari Hisyam bin Urwah sebuah riwayat sebagai berikut, “Suatu hari Al Mundzir bin Az Zubair datang dari Iraq, lalu ia mengirim oleh-oleh kepada Asma` pakaian tipis dan antik dari Quhistan dekat Khurasan, setelah ia mengalami kebutaan. Ia pun lantas meraba pakaian tersebut dengan tangannya kemudian berkata, “Ah! Kembalikan pakaian ini.” Pengantarnya merasa tidak enak dan berkata, “Wahai ibu! Sungguh pakaian ini tidak transparan.” Asma` berkata, “Pakaian ini, walaupun tidak transparan akan tetapi membentuk.”[12]

Kata As Safarini dalam Gidza`ul Albab, “Bila pakaian itu tipis hingga tampak aurat si pemakainya, baik lelaki maupun wanita, maka dilarang dan haram mengenakannya. Sebab secara syariat dianggap tidak menutup aurat sebagaimana diperintahkan. Hal ini tidak diperselisihkan lagi.”[13]

Kata Imam As Syaukani dalam Nailul Author 2/115, “Wajib bagi wanita menutup badannya dengan pakaian yang tidak membentuk tubuuh, inilah syarat dalam menutup aurat.”

Sebagian fuqoha menyebutkan, “Pakaian yang transparan pada sekilas pandangan, keberadaannya seperti tidak ada. Karena itu tidak ada sholat bagi yang mengenakannya (untuk sholat).”

Sebagian yang lain menegaskan bahwa pakaian para salaf tidak ada yang terbuat dari bahan yang membentuk aurat karena tipis, sempit atau yang lain.

3. Tidak membuka aurat

Ada beberapa golongan yang terkadang sholat dengan aurat terbuka, di antaranya:

a. Mereka yang mengenakan celana panjang pantalon yang membentuk aurat atau mengesankannya atau transparan dengan kemeja pendek. Ketika ruku’ dan sujud, kemeja tertarik ke atas sedang celana tertarik ke bawah. Dengan demikian punggung dan sebagian auratnya tampak. Hal ini kadangkala terjadi bila tidak bisa dikatakan sering. Perhatikanlah, aurat mughalladhah (alat vital)nya tampak ketika ia ruku’ atau sujud di hadapan Rabbnya. Na’udzubillah! Kita berlindung kepada Allah dari kebodohan, sebab bila dalam keadaan demikian sedang aurat terbuka, jelas mengantarkan pada batalnya sholat. Lantas siapa kambing hitamnya? Celana pantalon dan memang celana pantalon asalnya dari negeri kafir.[14]

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin dalam menanggapi beberapa kesalahan yang dilakukan sebagian kaum muslimin di dalam sholat, beliau berkata, “Banyak di antara manunsia tidak lagi mengenakan pakaian yang luas dan lapang, mereka hanya mengenakan celana panjang dan kemeja pendek yang menutupi dada dan punggung. Bila mereka ruku’, kemeja tertarik hingga tampak sebagian punggung dan ekornya yang merupakan aurat dan dilihat oleh orang yang ada di belakangnya. Padahal terbukanya aurat merupakan sebab batalnya sholat.[15]

b. Wanita yang tidak menjaga pakaian dan tidak memperhatikan menutup seluruh badan, sedang ia berada di hadapan Robbnya, baik karena bodoh, malas atau acuh tak acuh. Padahal sudah menjadi kesepakatan bahwa pakaian yang mencukupi bagi wanita untuk sholat adalah baju panjang dan kerudung.[16]

Kadang-kadang seorang wanita sudah memulai sholat padahal sebagian rambut atau lengan atau betisnya masih terbuka. Maka ketika itu –menurut jumhur ahli ilmu- wajib ia mengulangi sholatnya. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Sayidah Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَيَقْبَلُ اللهُ صَلاَة حَائِضٍ إِلاَّ بِخِمَارٍ

“Allah tidak menerima sholat wanita yang telah haid (baligh) kecuali dengan kerudung.” (HSR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan yang lain).

Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha pernah ditanya sebagai berikut, “Pakaian apa yang pantas dikenakan wanita untuk sholat?” Beliau menjawab, “Kerudung dan baju panjang yang longgar sampai menutup kedua telapak kaki.”[17] (Riwayat Malik dan Baihaqi dengan sanad jayyid).

Imam Ahmad juga pernah ditanya, “Berapa banyak pakaian yang dikenakan wanita untuk sholat?” Beliau menjawab, “Paling sedikit baju rumah dan kudung dengan menutup kedua kakinya dan hendaknya baju itu lapang dan menuutup kedua kakinya.”

Imam Syafi’i berkata, “Wanita wajib menutup seluruh tubuhnya di dalam sholat kecuali dua telapak tangan dan mukanya.”

Beliau juga berkata, “Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali telapak tangan dan wajah. Telapak kaki pun termasuk aurat. Apabila di tengah sholat tersingkap apa yang ada antara pusar dan lutut bagi pria sedang bagi wanita tersingkap sedikit dari rambut atau badan atau yang mana saja dari anggota tubuhnya selain yang dua tadi dan pergelangan –baik tahu atau tidak- maka mereka harus mengulang sholatnya. Kecuali bila tersingkap oleh angin atau karena jatuh lalu segera mengembalikannya tanpa membiarkan walau sejenak. Namun bila ia membiarkan sejenak walau seukuran waktu untuk mengembalikan, maka ia tetap harus mengulanginya.”[18] Oleh karena itu wajib bagi wanita muslimah memperhatikan pakaian mereka di dalam sholat, lebih-lebih di luar sholat.

Banyak juga dari mereka yang sangat memperhatikan bagian atas badan yaitu kepala. Mereka menutup rambut dan pangkal leher tapi tidak memperhatikan anggota badan bagian bawah dengan kaos kaki yang sewarna dengan kulit sehingga tampak semakin indah. Terkadang ada di antara mereka yang sholat dengan penampilan semacam ini. Hal ini tidak boleh. Wajib bagi mereka untuk segera menyempurnakan hijab sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Teladanilah wanita-wanita Muhajirin ketika turun perintah Allah agar mengenakan kerudung, mereka segera merobek korden-korden yang mereka punyai lalu memakainya sebagai kerudung. Tetapi sekarang, kita tidak perlu menyuruh mereka merobek sesuatu, cukup kita perintahkan mereka memanjangkan dan meluaskannya hingga menjadi pakaian yang benar-benar menutup.[19]

Mengingat telah meluasnya pemakaian jilbab pendek di kalangan muslimah di beberapa negeri yang berpenduduk muslim, maka saya memandang penting untuk menjelaskan secara ringkas bahwa kaki dan betis wanita adalah aurat. Ucapan saya wabillahit taufiq adalah sebagai berikut:

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

… وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّ …

“Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (An Nur: 31).

Sisi pendalilan dari ayat ini adalah bahwa wanita juga wajib menutup kaki, sebab bila dikatakan tidak, maka alangkah mudahnya seseorang menampakkan perhiasan kakinya, yaitu gelang kaki sehingga tidak perlu ia memukulkan kaki untuk itu. Akan tetapi hal itu tidak boleh dilakukan karena menampakkannya merupakan penyelisihan terhadap syariat dan penyelisihan yang semacam ini tidak mungkin terjadi di jaman risalah. Karena itu seseorang dari mereka melakukan tipu daya dengan cara memukulkan kakinya agar kaum pria mengetahui perhiasan yang disembunyikan. Maka Allah pun melarang mereka dari hal itu.

Sebagai penguat dari penjelasan saya, Ibnu Hazm berkata, “Ini adalah nash yang menunjukkan bahwa kaki dan betis termasuk aurat yang mesti disembunyikan dan tidak halal menampakkannya.”[20]

Adapun penguat dari sunnah adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه البخاري و زاد غيره: فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ: فَكَيْفَ يَصْنَعُ النِّسَاءُ بِذُيُوْلِهِنَّ؟) قَالَ: يُرْخِيْنَ شِبْرًا. قَالَتْ: إِذَنْ تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ. قَالَ: فَيُرْخِيْنَهُ ذِرَاعًا لاَ يَزِدْنَ عَلَيْهِ. وَفِي رِوَايَةٍ: رَخَّصَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم لأُِمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ شِبْرًا ثُمَّ اسْتَزَدْنَهُ فَزَادَهُنَّ شِبْرًا فَكُنَّ يُرْسِلْنَ إِلَيْنَا فَنَذْرَعُ لَهُنَّ ذِرَاعًا. (رواه الترمذي و أبو داود و ابن ماجه و هو صحيح, انظر سلسلة الأحاديث الصحيحة رقم 460)

Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang melabuhkan pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan memandangnya pada hari kiamat.” Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bertanya, “Apa yang harus diperbuat oleh wanita terhadap ujung pakaian mereka?” Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Turunkan sejengkal.” Ummu Salamah berkata, “Bila demikian kakinya akan tersingkap.” Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Turunkan sehasta, jangan lebih dari itu.” Dalam riwayat lain: Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan pada ummahatul mu`minin (untuk menambah) sejengkal, dan mereka minta tambah, maka Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menambahkannya. (HSR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah) (Lihat Ash Shohihah 60).

Faidah dari riwayat ini adalah bahwa yang dibolehkan adalah sekitar satu hasta, yaitu dua jengkal bagi tangan ukuran sedang.

Imam Al Baihaqi berkata, “Riwayat ini merupakan dalil tentang wajibnya menutup kedua punggung telapak kaki bagi wanita.”[21]

Ucapan “Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan” dan pertanyaan Ummu Salamah: “Apa yang harus diperbuat wanita terhadap ujung pakaiannya?” setelah ia mendengar ancaman bagi orang yang melabuhkan pakaiannya, semua ini mengandung sanggahan terhadap anggapan bahwa hadits-hadits yang mutlak (bersifat umum) mengenai ancaman bagi pelaku isbal (melabuhkan pakaian sampai di bawah mata kaki) itu ditaqyid (dibatasi kemutlakannya) oleh hadits lain yang tegas yaitu bagi yang melakukannya karena sombong.

Anggapan ini terbantah karena sekiranya benar demikian, maka pertanyaan Ummu Salamah yang meminta kejelasan hukum bagi wanita itu tidak ada maknanya. Akan tetapi Ummu Salamah memahami bahwa ancaman itu bersifat mutlak, berlaku bagi orang yang sombong dan yang tidak. Karena pemahaman beliau yang demikian, maka beliau menanyakan kejelasan hukumnya bagi wanita sebab wanita dituntut untuk berlaku isbal guna menutup aurat yaitu kaki. Dengan demikian jelas bagi beliau bahwa ancaman itu tidak berlaku bagi wanita, tetapi khusus bagi lelaki dan hanya dalam pengertian ini.

‘Iyadl rohimahullah telah menukil adanya ijma’ bahwa larangan itu hanya berlaku bagi kaum pria, tidak bagi kaum wanita karena adanya taqrir Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam atas pemahaman Ummu Salamah. Larangan yang dimaksud adalah larangan isbal.

Walhasil, bagi pria ada dua keadaan:

1. Keadaan yang mustahab yaitu memendekkan sarung hingga pertengahan betis.

2. Keadaan jawaz (boleh) yaitu melebihkannya hingga di atas mata kaki.

Adapun bagi wanita juga ada dua keadaan:

1. Keadaan mustahab yaitu melebihkan sekitar satu jengkal dari keadaan jawaz bagi pria.

2. Keadaan jawaz yaitu melebihkannya sekitar satu hasta.[22]

Sunnah inilah yang dijalankan oleh wanita-wanita di jaman Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam dan jaman-jaman selanjutnya.

Dari sinilah kaum muslimin di masa-masa awal menetapkan syarat bagi ahli dzimmah harus tersingkap betis dan kakinya supaya tidak serupa dengan wanita-wanita muslimah. Hal ini sebagaimana diterangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim.

Termasuk pula orang-orang yang terjerumus dalam kesalahan ini yaitu memulai sholat sedang aurat tersingkap adalah orang tua yang memakaikan anak mereka celana pendek dan menyertakannya sholat di masjid. Padahal Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مُرُوْهُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعٍ

“Perintahkan mereka sholat ketika mereka berumur tujuh tahun.” (HSR. Ibnu Khuzaimah, Hakim, Baihaqi, dan yang lain).

Sedang tidak diragukan lagi bahwa perintah ini mencakup juga perintah menunaikan syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Perhatikanlah, jangan sampai anda termasuk orang-orang yang lalai.

Demikianlah beberapa perkara yang harus kita perhatikan dalam hal pakaian dalam sholat berikut beberapa kesalahan yang terjadi. Namun masih ada beberapa hal yang berkaitan dengan syarat-syarat pakaian dalam sholat di antaranya tidak musbil, tidak bergambar, dan bukan pakaian yang dicelup merah.

Wallahu a’lam.

Diterjemahkan oleh Muhammad Rusli dengan sedikit tambahan

[1] Abu Awanah di dalam Shahihnya menerangkan sisi lain dari sebab ucapan Umar ini, yaitu mengatakan di permulaannya, “Utbah bin Farqad pernah mengutus seorang budak untuk membawa kiriman kepada Umar yang berisi berbagai macam makanan yang di atasnya terdapat permadani dari bulu. Ketika Umar melihatnya beliau berkata, “Apakah kaum muslimin kenyang dengan makanan ini di negeri mereka?” Budak itu menjawab, “Tidak.” Umar berkata, “Saya tidak suka ini.” Lalu beliau menulis surat kepadanya…

[2] Syaikh Abu Bakar Al Jaza`iri dalam kitabnya At Tadkhin memberi rincian sebagai berikut, “Di antara adat-adat rusak itu ialah memelihara anjing di dalam rumah, wanita muslimah membuka wajah mereka, kaum pria mencukur jenggot, mengenakan celana pantalon ketat tanpa gamis atau sarung di atasnya, membuka kepala, beramah tamah dengan ahli fasik dan munafik, tidak beramar ma’ruf nahi munkar dengan slogan ‘kebebasan berfikir’ dan ‘hak asasi manusia’.”

[3] Dari kaset rekaman beliau ketika menjawab pertanyaan Abu Ishaq Al Huwaini Al Mishri, direkam di Urdun pada bulan Muharram tahun 1407 H, lihat tulisan beliau: Syarat keempat dari syarat hijab wanita muslimah, yaitu agar luas atau longgar dan tidak sempit, yaitu dalam kitab Hijab Mar`atil Muslimah. Maka kesalahan yang disebut di atas terkena pada pria dan wanita Namun pada pria hal itu lebih tampak, karena mayoritas kaum muslimin di jaman ini sholat menggunakan pantalon. Bahkan kebanyakan mereka sholat dengan pantalon yang sempit, laa haula walaa quwwata illa billah. Padahal Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang sholat dengan mengenakan celana panjang tanpa ditutupi jubah sebagaimana dalam riwayat Abu Dawud dan Hakim dengan sanad hasan. Hal ini diterangkan dalam Shahih Jami’ush Shoghir 6830.

[4] Dengan ini pula Lajnah Ad Daimah menjawab pertanyaan seputar hukum sholat dengan celana pantalon pada Idaratul Buhuts no 2003 sebagai berikut, “Bila pakaian (celana pantalon) tersebut longgar hingga tidak menggambarkan aurat dan tebal hingga tidak transparan, maka boleh sholat dengannya. Adapun bila transparan, tampak semua yang ada di baliknya, maka batal sholat dengannya. Sedang bila pakaian tersebut hanya sekedar membentuk aurat maka makruh sholat dengannya kecuali bila tidak ada yang lain…” Wabillahit taufiq.

[5] Fatawa Rasyid Ridha 5/2056

[6] Riwayat Thohawi dalam Syarah Ma’anil Atsar

[7] Fathul Bari 1/476, Majmu’ 3/181, Nailul Author 2/78 & 84

[8] As Sa’aty dalam Fathul Rabbani 18/236 berkata, “Gamis adalah pakaian berjahit mempunyai dua lengan dan saku, yaitu yang hari ini dikenal dengan jalabiyah, merupakan pakaian yang lebar menutup seluruh badan dari leher ke mata kaki atau ke pertengahan betis. Dahulu pakaian ini digunakan sebagai pakaian dalam.”

[9] Al Umm 1/78

[10] Al Umm 1/78

[11] Tanwirul Hawalik 3/103

[12] Riwayat Ibnu Sa’ad dalam At Thobaqotul Kubra 8/184 dengan sanad shahih.

[13] Ad Dinul Kholish 6/180

[14] Tanbihat Hammah ‘ala malabisil muslimin al-yaum, hal. 28

[15] Majalah Al Mujtama’ no. 855

[16] Bidayatul Mujtahid 1/115, Al Mughni 1/603, Al Majmu’ 3/171 dan I’anatut Tholibin 1/285. Maksudnya menutup badan dan kepalanya. Jika pakaiannya lapang sehingga dengan sisanya ia menutup kepala, maka hal ini boleh. Disebutkan oleh Bukhari dalam Shahihnya 1/483 secara mu’allaq dari Ikrima, ia berkata, “Sekiranya seluruh tubuh sudah tertutup dengan satu pakaian, niscaya hal itu sudah mencukupi.”

[17] Masail Ibrohim bin Hanif lil Imam Ahmad no. 286

[18] Al Umm 1/77

[19] Hijab Al Mar`ah Al Muslimah hal. 61.

[20] Al Muhalla 3/216

[21] Tirmidzi berkata dalam Al Jami’ 4/224, “Kandungan hadits ini yaitu adanya rukhshoh bagi wanita untuk melabuhkan kain sarung karena hal itu lebih sempurna dalam menutup.”

[22] Fathul Bari 10/259

(Dikutip dari http://salafy.iwebland.com/baca.php?id=3, terjemahan kitab Al Qaulul Mubin, edisi bahasa Indonesia “Koreksi atas Kekeliruan Praktek Ibadah Shalat”, karya Syaikh Abu ‘Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Salman, judul ” Pakaian ketika Sholat”, hal 75-88. Dicetak oleh Maktabah Salafy Press, cetakan pertama, Dzulqa’idah 1423 H)

Judul Asli: Koreksi sholat kita : Pakaian ketika sholat

Dinukil dari: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=963

 

Nggak Usah Tutup Mulut


Shalat adalah ibadah yang sangat agung, merupakan tiang agama, dan pencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Allah -Ta’ala- berfirman:
“Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Ankabuut: 45).

Alangkah merugi orang-orang yang lalai dari ibadah yang sangat agung ini, bermalas-malasan bahkan jarang sekali dia terlihat merendahkan wajahnya, dan sujud kepada Dzat yang telah menciptakannya. Terlena dengan kehidupan dunia, padahal dia sendiri tahu bahwa hidupnya di dunia ini tidaklah abadi. Semuanya akan musnah !!

Meskipun semua orang sadari bahwa hidupnya di dunia ini tidaklah kekal, tapi tetap saja masih ada orang-orang yang berat melangkahkan kakinya menuju rumah Allah. Kalau pun datang, hanya di hari Jum’at. Seolah-olah shalat yang wajib itu hanyalah shalat Jum’at saja.

Kalau pun dia shalat, namun ia tak peduli dengan perkara-perkara yang bisa merusak shalatnya atau bahkan membatalkan shalatnya. Penyebab semua ini adalah karena kaum muslimin tidak mau mempelajari agama mereka sendiri khususnya yang berkaitan dengan shalat.

Oleh karena itu, wajib bagi kaum muslimin mengkaji agamanya, dan mempelajarinya lewat majelis-majelis ilmu, dan membaca buku-buku tentang agamanya atau membaca buletin mungil Al-Atsariyyah.

Para Pembaca yang budiman, diantara bentuk ketidakpedulian yang terjadi pada sebagian kaum muslimin pada hari ini ketika ia melaksanakan sholat:

  • Sadel (Menyelimutkan) Pakaian pada Tubuh, Menutupi Hidung dan Wajah dalam Sholat

Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu– berkata,

نَهَى عَنِ السَّدْلِ فِي الصَّلَاةِ وَأَنْ يُغَطِّيَ الرَّجُلُ فَاهُ

“Sesungguhnya Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- melarang sadel dalam shalat dan seseorang menutupi mulutnya.”. [HR. Abu Dawud (643), At-Tirmidziy (378), Ibnu Khuzaimah (772), Ahmad (2/295 & 341), dan Al-Hakim (1/253). Di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy dalam Takhrij Al-Misykah (764)]

Ibnu Mas’ud, An-Nakha’iy, ats-Tsauriy, Ibnu Mubarak, Mujahid, Asy-Syafi’iy dan ‘Atha’, semuanya membenci sadel dalam shalat.

Para ulama’ berbeda pendapat mengenai makna sadel yang terdapat dalam hadits di atas. Ada yang mengatakan: Sadel adalah menurunkan pakaian sehingga menyentuh tanah. Ini adalah Penafsiran Al-Imam Asy-Syafi’iy. Ini semakna dengan isbal (menurunkan pakaian melebihi mata kaki), yang telah berlalu penjelasannya dalam edisi lalu. [Lihat Al-Majmu’ (3/177), dan Ma’alim As-Sunan (1/179)]

Ada yang menyatakan, Sadel adalah seseorang menutupkan pakaian pada bahunya, lalu ia tidak menyentuh pakaian itu. Dia melakukannya karena khawatir kedua bahunya tersingkap dan akan datang pembahasannya, insya Allahu -Ta’ala-. Ini adalah penafsiran Al-Imam Ahmad. [Lihat Masa’il Ibrahim bin Hani’ (288)]

Pengarang kitab An-Nihayah, Al-Imam Ibnul Atsir Al-Jazariy -rahimahullah- berkata, “Dia (sadel) itu, seseorang menyelimutkan pakaian dan ia memasukkan kedua tangannya ke dalam (pakaian), hingga dia rukuk dan sujud dalam keadaan seperti itu.” Dia berkata, “Ini juga mencakup gamis atau pakaian lainnya”. [Lihat An-Nihayah fi Ghorib Al-Hadits (3/74)]

Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu ‘anhu- berkata,

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ اشْتِمَالِ الصَّمَّاءِ

“Sesungguhnya Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- melarang isytimalush shammaa’ (berselubung dan berselimut seperti batu)”. [HR. Al-Bukhoriy (367), Muslim (2099), Abu Dawud (2417), At-Tirmidziy (1758), An-Nasa’iy (5340), dan Ibnu Majah (3561)]

Seorangulama Syafi’iyyah, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy-rahimahullah- berkata dalam menjelaskan makna hadits ini, “Ahli bahasa mengatakan, “Seseorang menyelimuti badannya dengan pakaian yang tidak terbuka segala sisinya dan tidak ada lubang untuk mengeluarkan tangannya.Ibnu Qutaibah berkata, “Dinamakan shammaa’ (batu keras), karena semua lubangnya tertutup, maka keadaannya seperti tanah yang membatu dan keras, yang tidak ada celah sedikitpun padanya. [Lihat Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhoriy (1/477), cet. Darul Ma’rifah]

Termasuk dalam makna ini adalah:

  • Orang yang Shalat dalam Keadaan Melekatkan Jaket pada Kedua Bahunya, tanpa Memasukkan Kedua Tangannya ke dalam Lengan Jaket

Model berpakaian seperti ini biasa kita saksikan pada sebagian tempat. Ketika mereka masuk ke dalam sholat dalam keadaan tergesa-gesa, mereka langsung meletakkan jaketnya pada kedua pundaknya, tanpa memasukkan tangannya ke lengan jaket. Demikian pula di sebagian daerah berudara dingin, ada sebagian orang melakukannya demi menghangatkan badan dan tangannya. Inilah salah satu makna sadel sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Abu Ubaid Al-Qosim bin Sallam, As-Sadel : seseorang memanjangkan pakaiannya tanpa mempertemukan kedua sisinya di antara kedua tangannya. Jika ia mempertemukannya (mengancingnya), maka bukan termasuk dari sadel”.

Lahiriahnya, jika kedua sisinya bertemu, dalam keadaan kedua tangannya tidak dimasukkan ke dalam kedua lengan bajunya, maka yang demikian itu tidak dinamakan sadel, seperti shalat dengan al-qoba’a dan al-ba’a (mantel yang terbuka bagian depannya).

As-Safariniy-rahimahullah- berkata, “Syaikhul Islam ditanya tentang melekatkan al-Qoba’a pada kedua bahu tanpa memasukkan kedua tangan ke dalam lengannya, apakah yang demikian ini dimakruhkan ataukah tidak? Maka ia menjawab, “Sesungguhnya yang demikian itu tidak mengapa, berdasarkan kesepakatan para fuqaha. Ini bukanlah sadel yang dimakruhkan, karena pakaian tersebut bukanlah pakaian orang Yahudi.” [Lihat Ghidza’ Al-Albab (2/156)]

Dalil untuk hal ini, hadits yang dikeluarkan Muslim dalam Shahih-nya dari Wail bin Hujr,

أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ حِيْنَ دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ كَبَّرَثُمَّ الْتَحَفَ بِثَوْبِهِ ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلىَ الْيُسْرَى فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ أَخْرَجَ يَدَيْهِ مِنَ الثَّوْبِ ثُمَّ رَفَعَهُمَا

“Sesungguhnya dia melihat Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- tatkala memasuki shalat, maka beliau takbir, kemudian menyelimuti dirinya dengan pakaiannya dan beliau meletakkan tangannya yang kanan di atas yang kiri. Tatkala hendak rukuk, maka beliau mengeluarkan kedua tangannya dari pakaiannya, lalu mengangkat keduanya”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (401)]

Jadi, seorang dilarang membiarkan kedua pakaian atau jaketnya terbuka di depan, tanpa dihimpun (dikancing). Adapun jika terhimpun (terkancing), maka boleh sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam hadits ini. Wallahu a’lam bish showab.

  • Shalat dalam Keadaan Menutupi Mulut dengan Tangan atau dengan yang Lainnya

Diantara perkara yang perlu diperhatikan ketika sholat, seorang tidak boleh menutupi mulutnya dengan sesuatu apapun, baik berupa tangan, kain, masker, dan lainnya.

Para Pembaca yang budiman, seorang dilarang shalat dalam keadaan menutupi mulut berdasarkan hadits yang lalu:

نَهَى عَنِ السَّدْلِ فِي الصَّلَاةِ وَأَنْ يُغَطِّيَ الرَّجُلُ فَاهُ

“Sesungguhnya Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- melarang sadel dalam shalat dan seseorang menutupi mulutnya“. [HR. Abu Dawud (643), At-Tirmidziy (378), Ibnu Khuzaimah (772), Ahmad (2/295 & 341), dan Al-Hakim (1/253). Di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy dalam Takhrij Al-Misykah (764)]

Jadi, seorang dilarang menutupkan tangan pada mulut ketika shalat, kecuali jika sedang menguap, maka justru disunnahkan untuk meletakkan (menutupkan) tangan pada mulut, karena Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

إِذَا تَثَاوَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيُمْسِكْ بِيَدِهِ عَلَى فِيْهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ

“Jika salah seorang dari kalian menguap, hendaklah dia menahan (menutup) mulutnya dengan tangan, karena sesungguhnya setan akan masuk”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (2995)]

Maka seorang diberi keringanan untuk menutupi mulutnya dengan menggunakan tangannya saat ia menguap dalam sholat. Tapi seusai menguap, ia kembali sebagaimana biasanya, tanpa menutupi mulutnya lagi.

Perempuan atau pun banci dalam perkara ini, hukumnya seperti laki-laki. Yakni hukumnya terlarang dan dibenci, namun tidak sampai menghalangi sahnya shalat. [Lihat Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (3/179), cet Darul Fikr]

Adapun menutupkan tangan pada hidung, hukumnya berkisar dalam dua riwayat (pendapat). Pendapat pertama, dimakruhkan karena Umar membencinya. Pendapat yang lain, tidak dimakruhkan, karena pengkhususan larangannya hanya menutup mulut. Ini menunjukkan bolehnya menutup yang lainnya. [Lihat Al-Mughniy (2/299), cet. Dar Alam Al-Kutub, 1419 H]

Pendapat yang terkuat –wallahu a’lam– adalah pendapat yang pertama, karena tak mungkin seorang bisa menutupi hidungnya, tanpa menutupi mulutnya.

Syaikh Masyhur Hasan Salman –hafizhahullah– berkata, “Tidak bisa dibayangkan orang bisa menutup hidung dalam shalat, kecuali ia mesti menutup mulut. Karena mulut itu ada di bawah hidung. Jadi kemakruhannya terbukti (jelas), wallahu -Ta’ala- a’lam”. [Lihat Al-Qoul Al-Mubin (hal.42)]

Dikecualikan dari makruhnya perkara ini, jika menutup mulut dalam shalat, karena ada suatu sebab yang mengharuskan, seperti seseorang memiliki penyakit alergi dingin sehingga ia tak mampu menghirup udara dingin atau ia sesak nafas, maka diberikan rukhshoh (keringanan) baginya dalam melakukan hal itu. Tapi secara global, menutup mulut dalam sholat adalah terlarang !! Terlebih lagi jika menyinggung perasaan saudara kita. Sebab ada sebagian orang merasa tersinggung ketika melihat saudaranya menutup mulut, tanpa sebab yang bisa diketahui.

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 62 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

Dinukil dari: http://almakassari.com/artikel-islam/fiqh/nggak-usah-tutup-mulut.html