Tag Archives: pendidikan anak

KERUSAKAN YANG TIMBUL PADA ANAK BERSUMBER DARI ORANG TUANYA


Salafy Indonesia:

⚠💥🔥‼ KERUSAKAN YANG TIMBUL PADA ANAK BERSUMBER DARI ORANG TUANYA
✍🏻 Al-Allamah Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata:
وكم ممَّن أشقى وَلَدَه وفلذةَ كبده في الدنيا والآخرة
Betapa banyak orang tua yang menjadi penyebab sengsaranya sang anak dan buah hatinya didunia dan diakhirat.
بإهماله وتركِ تأديبه , وإعانته له على شهواته
Dengan cara sang orang tua yang tidak memperhatikan pendidikan adab terhadap anaknya.

Atau membantu sang anak untuk sebebas-bebasnya memenuhi syahwatnya
 ويزعم أنه يُكرمه وقد أهانه , وأنه يرحمه وقد ظَلَمَه وحرمه،
Dengan anggapan yang demikian itu adalah bentuk memuliakan dan kasih sayang terhadap anak, padahal justru tindakan dia ini adalah kezhaliman terhadap anak dan merupakan keharaman
ففَاتَهُ انتفاعُه بولده، وفوَّت عليه حظَّه في الدنيا والآخرة
Dia juga (Orang tua) dengan tindakannya tersebut telah menyebabkan dia terluputkan dari mendapat kemanfaatan dari si anak di dunia dan akhirat.
وإذا اعتبرتَ الفسادَ في الأولاد رأيتَ عامَّتَه من قِبَل الآباء
Dan jika anda mau mencermati sungguh mayoritas kerusakan yang ada pada anak itu bersumber dari orang tuanya.
[Kitab Tuhfatul Maudud 242]
📚 Sumber || http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=41817
⚪ WhatsApp Salafy Indonesia

⏩ Channel Telegram || http://bit.ly/ForumSalafy
💎💎💎💎💎💎💎💎💎

DAMPAK BURUK SERING MARAH dan MEMBENTAK ANAK


💡 Info Psikologis:

〰📢〰📢〰📢〰

DAMPAK BURUK SERING MARAH dan MEMBENTAK ANAK
〰🔇🔇🔇〰

💧Apakah Antuna suka marah dan membentak pada anak?

Wahai Ummah, ketahuilah, sebaik-baik teladan adalah Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Dalam segala aspek kehidupan. Termasuk dalam hal mendidik anak.

Sekian banyak kitab-kitab ulama membahas mengenai tarbiyah aulad-pendidikan anak-.

Maka kita wajib mengilmuinya terutama Bagi kita yang telah menyandang gelar “orang tua”.

⚠Dan artikel Psikologis berikut sama sekali tidak ditujukan untuk mengesampingkan sebaik-baik ajaran yakni – Islam ‘ala fahmi salafyl ummah-

〰Akan tetapi, dengan ini penulis harapkan dapat menjadi ilmu tambahan bagi ummahat khususnya agar termotivasi lagi untuk menghindari membentak atau pun marah-marah.

🌙Dan inilah hasungan syariat untuk meninggalkan akhlak tercela tersebut:

➖🌹➖🌹➖🌹➖

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوْصِنِي،

قَالَ: لاَ تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَاراً،
قَالَ: لاَ تَغْضَبْ

((رواه البخاري))

[Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

“Berilah wasiat kepadaku”. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Janganlah engkau marah”.
Maka diulanginya permintaan itu beberapa kali. Sabda beliau:

“Janganlah engkau marah”.

(HR. al-Bukhari)
➖🌹➖🌹➖🌹➖

Dan membentak itu identik dengan amarah. Bagi sebagian orang- terutama yang bertipe temperamental-maka jika marah, cenderung lisan dekat sekali dengan membentak.

❌Subhaanallah, Dari segi syariat maka telah jelas marah-marah Dan membentak itu merupakan akhlak tercela.

🔎Adapun Dari segi Psikologis, tahukah Anda bahwa :
“sering memarahi anak dengan membentaknya juga termasuk dalam bentuk kekerasan verbal yang bisa memengaruhi psikis anak”

Seorang psikolog anak dan remaja Ratih Zulhaqqi, M.Psi mengutarakan bahwa

“Terbiasa dimarahi dan dibentak, apalagi anak pada dasarnya tidak merasa mendapat kekerasan karena hal itu dilakukan orang terdekat seperti orang tua atau saudara, terbentuklah pemikiran bahwa membentak, memukul dan tindak kekerasan lain adalah bentuk kasih sayang,”

🌾Aduhai,
Alangkah berdosanya kita, jika membiasakan marah-marah Dan membentak pada putra/i kita. Disamping jelas melanggar syariat yang mulia ini, ternyata secara Psikologis dampaknya :

❌Disadari atau tidak,kebiasaan membentak anak sama dengan menanamkan persepsi pada buah hati kita bahwa itu adalah sebuah bentuk kasih sayang.
Na’udzubillah.

❌Selain hal diatas, kebiasaan MARAH dan membentak anak dapat berakibat sbb:

Akibatnya;
1⃣Anak akan meniru hal tersebut dalam kesehariannya.

2⃣Dia jadi mudah marah, sulit mengendalikan, emosi, dan suka teriak-teriak.

3⃣ Anak bisa jadi selalu cemas, merasa tidak aman, tidak nyaman

4⃣Anak menjadi tidak percaya diri dan tidak bisa memposisikan dirinya dengan tepat,

Itu masih 4 poin,
إنّا لله و إّنا إليه راجعون…

Mungkin ada sekian poin dampak negatif lain dalam ilmu Psikologi.

Wahai Ummah….
Setidaknya yang 4 ini saja sudah membuat hati kita terpanggil untuk menyudahi kebiasaan jelek dalam mendidik selama ini.

🌹Adapun yang sudah diberi taufiq-Nya selalu sabar dalam mendidik anak-anak, bisa menahan emosi, amarah Dan meninggalkan membentak-bentak ..maka bersyukurlah Anda…
Sungguh Nikmat yang luar biasa karena disana ada makhluk Allah yang dilahirkan dengan watak temperamental MUDAH marah, membentak bahkan memukul

Na’udzubillah…

Sebelum menyudahi tulisan ini ana ingin mengajak Antuna untuk merenungi ucapan Ulama Salaf berikut:

💎‘Umar bin Abdul ‘Aziz t berkata:
“Telah beruntung orang yang dijaga dari hawa nafsu, kemarahan, dan ketamakan.”

💎Ja’far bin Muhammad berkata:
“Kemarahan itu adalah kunci dari segala macam kejelekan.”

💎Dikatakan kepada Ibnul Mubarak:
“Himpunkanlah untuk kami akhlak-akhlak yang baik dalam satu kata!”
Beliau mengatakan: “Meninggalkan marah.”

(Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam, hal. 372, 379)

💎Ibnul Qayyim berkata:
“Kemarahan itu membinasakan. Dia merusak akal sebagaimana khamr dapat menghilangkan kesadaran.”

(An-Nubadz fi Adabi Thalabil ‘Ilmi hal. 155)

🌸 Akhir kata,
Sungguh tak ada kebaikan sama sekali pada amarah yg didasari emosi belaka.

Maka sebagai ibu,
Sudah menjadi kemestian untuk berSABAR.
Menghadapi anak-anak, yang itu adalah amanah dari Allah dengan sebaik-baik akhlak.
Ingatlah: “Ibu adalah sekolah pertama”

🏡Darimu kami belajar Ibu..
Kami ingin menjadi anak shalih Dan shalihah, maka didiklah Kami dengan akhlak mulia…

بارك الله فيكم..
الحمد لله..
Semoga tulisan ini menjadi pengingat untuk penulis secara pribadi.
Kita memohon Hidayah Dan taufiq-Nya…

أختكن في الله
أم عبد الله ناجية

📚sumber bacaan:

http://asysyariah.com/marah/
http://m.detik.com/health/read/2014/07/23/171510/2646327/1301/sering-membentak-anak-saat-marah-ini-dampak-negatifnya-bagi-psikis-anak

salafy kolaka

🌹WA MANHAJ SALAF

📬Diposting ulang oleh
🎀WA Nisaa` As-Sunnah🎀

Kapankah Anak Diajari Agama?


Penulis: Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah

Tanya:

Pada usia berapa anak sudah harus saya ajarkan tentang perkara agama?

Jawab:

Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menjawab, “Pengajaran terhadap anak sudah harus dimulai ketika mereka telah mencapai usia tamyiz1. Tentunya dimulai dengan tarbiyah diniyah (pendidikan agama), berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka bila pada usia sepuluh tahun tidak mengerjakan shalat, serta pisahkanlah mereka di tempat tidurnya.”2

Bila anak telah mencapai usia tamyiz, orangtuanya diperintah untuk mengajarinya dan mentarbiyahnya di atas kebaikan, dengan mengajarinya Al-Qur`an dan hadits-hadits yang mudah. Mengajarinya hukum-hukum syariat yang cocok dengan usia si anak, misalnya bagaimana cara berwudhu dan bagaimana cara shalat. Si anak juga diajari dzikir-dzikir ketika mau tidur, bangun tidur, ketika hendak makan, minum, dan sebagainya. Selain itu, anak dilarang melakukan perkara-perkara yang tidak pantas serta diterangkan kepadanya bahwa perkara tersebut tidak boleh ia lakukan, seperti berdusta, namimah, dan selainnya. Hingga si anak terdidik di atas kebaikan dan terdidik untuk meninggalkan kejelekan sejak kecilnya.

Kenapa pengajaran ini dilakukan pada usia tamyiz? Karena pada usia ini, si anak bisa menalar apa yang diperintahkan kepadanya dan apa yang dilarang. Urusan pengajaran anak ini sangatlah penting. Namun sayangnya sebagian manusia lalai melakukannya terhadap anak-anak mereka.

Mayoritas orang tidak mementingkan perkara anak-anak mereka. Tidak mengarahkannya dengan arahan yang baik, bahkan membiarkan mereka tersia-siakan dari sisi tarbiyah diniyyah. Sehingga si anak tidak diperintah mengerjakan shalat dan tidak dibimbing kepada kebaikan, bahkan dibiarkan tumbuh di atas kebodohan dalam perkara agamanya serta terbiasa melakukan perbuatan yang tidak baik. Anak-anak dibiarkan bercampur-baur dan bergaul dengan orang-orang yang jelek, berkeliaran di jalan-jalan, menyia-nyiakan pelajaran mereka (enggan untuk belajar) serta kemudaratan lainnya, yang mana kebanyakan para pemuda muslimin tumbuh di atasnya disebabkan sikap masa bodoh orangtua mereka. Padahal para orangtua ini akan ditanya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala kelak, karena merekalah yang bertanggung jawab terhadap anak-anak mereka.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

Apa yang diperintahkan dalam hadits di atas adalah pembebanan kepada para orangtua yang harus mereka tunaikan. Dengan begitu, orangtua yang tidak menyuruh anak-anak mereka mengerjakan shalat pada umur yang telah disebutkan berarti ia telah bermaksiat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.3 Ia telah melakukan keharaman dan meninggalkan kewajibannya yang ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadapnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيًّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya.”4

Sangat disesalkan, sebagian orangtua sibuk dengan perkara dunianya hingga mengabaikan anak-anaknya. Tidak pula mereka menyempatkan waktunya untuk anak-anaknya. Seluruh waktunya tersita untuk perkara-perkara dunia. Kejelekan yang besar ini banyak dijumpai di negeri muslimin, yang menjadi sebab buruknya tarbiyah anak-anak mereka. Jadilah anak-anak tersebut tidak baik agama dan dunianya. La haula wala quwwata illa billahil ‘azhim. (Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah yang Maha Agung.” (Fatawa Nurun ‘Alad Darb, Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan, hal. 115-116)

Footnote:

1 Belum baligh, namun sudah bisa menalar dan memahami ucapan serta dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. (-pent)
2 HR. Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa`ul Ghalil, no. 247.
3 Tidak patuh dan taat kepada perintah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan dalam firman-Nya:

وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Apa yang didatangkan oleh Rasul kepada kalian maka ambillah dan apa yang beliau larang maka berhenti (tinggalkan)lah.” (Al-Hasyr: 7)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bersabda:

ماَ نَهَيْتُُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Apa yang aku larang kalian darinya, tinggalkanlah. Dan apa yang aku perintahkan kepada kalian maka kerjakanlah semampu kalian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) -pent.
4 HR.Al-Bukhari dan Muslim

(Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol.IV/No.37/1429H/2008, Kategori: Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 89-90. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=607)

Dinuki dari:

http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/fatwa-ulama/kapankah-anak-diajari-agama/#more-340

Bersamamu Menyusuri Duniamu


Penulis: Ustadzah Ummu Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran

Di balik keceriaan sang anak, sesungguhnya ia membutuhkan perhatian dan bimbingan. Ia terkadang juga menginginkan bisa bermain bersama ayah atau ibunya. Sayangnya, banyak orangtua yang justru menghabiskan waktunya untuk berbagai urusan di luar rumah. Rutinitas kantor, janji dengan relasi atau mitra bisnis, aktivitas organisasi dan sebagainya seakan menjadi pembenar untuk mengabaikan keluarga.

 Dunia anak seolah tak lepas dari canda cerianya. Menyaksikan mereka berlari, bercanda dan bertingkah dengan segala keriangan hatinya, menatap mereka bermain dan bergurau dalam iringan gelak tawanya. Terkadang semua itu membuat hati tergerak untuk turut menikmati dunia mereka, merasakan kegembiraan yang mereka rasakan.

Namun di belahan lain, ada orang tua yang tidak sempat meluangkan waktunya untuk bermain dan bercanda dengan anak-anak. Waktu mereka “terlalu berharga” untuk itu, sementara di sana menunggu setumpuk tugas kantor atau deretan daftar pekerjaan yang harus diselesaikan. Tak perlulah orang tua “menyia-nyiakan” waktu sekedar untuk bermain bersama anak-anak. Toh itu bukan lagi menjadi dunia mereka.

Sebenarnya tidaklah salah jika suatu waktu ayah ibu menyempatkan diri mengajak buah hatinya bercanda dan bersenda gurau. Jika dibuka lagi lembaran yang menuliskan kehidupan Rasulullah r, akan didapati bahwa yang demikian ini juga dilakukan oleh beliau. Telah banyak kisah yang dituturkan di mana semua itu menggambarkan rasa kasih sayang beliau terhadap anak-anak.
Para shahabat beliau yang mulia radhiallahu ‘anhum menceritakan, dalam banyak kesempatan Rasulullah r memberikan perhatian kepada anak-anak. Di antara mereka ada yang menceritakan pengalamannya bersama beliau, seperti Mahmud bin Ar-Rabi’ z yang berkisah:

“Aku masih ingat semburan Nabi r yang beliau semburkan di wajahku dari ember. Waktu itu usiaku masih lima tahun.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 77)
Demikian pula Anas bin Malik z yang menceritakan:

“Rasulullah r adalah orang yang paling baik akhlaknya. Aku memiliki saudara laki-laki bernama Abu ‘Umair yang waktu itu dia telah disapih. Apabila Rasulullah r datang, beliau menyapa, ‘Wahai Abu ‘Umair, apa yang dilakukan burung kecilmu?’ Dia biasa bermain dengan burung kecil itu.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6129 dan Muslim no. 2150)

Kisah Abu ‘Umair ini menunjukkan bolehnya seorang anak bermain dengan burung. Diperkenankan juga bercanda dengan gurauan yang tidak mengandung dosa, serta berlemah lembut dan bersikap ramah terhadap anak kecil. Demikian pulalah kebaikan akhlak, kemuliaan pribadi, dan ketawadhuan Rasulullah r tergambar dari kisah ini. (Syarh Shahih Muslim, 14/129)

Tak ketinggalan seorang shahabiyyah, Ummu Khalid bintu Khalid x mengisahkan pengalaman masa kecilnya bersama Rasulullah r, ketika menemui beliau bersama ayahnya:
“Aku pernah datang kepada Rasulullah r bersama ayahku. Waktu itu aku memakai baju kuning. Rasulullah r pun berkata, ‘Sanah, sanah!’ Abdullah (Ibnul Mubarak) berkata: Kata ini dalam bahasa Habasyiyah berarti bagus. Ummu Khalid bercerita lagi: Lalu aku bermain-main dengan tanda kenabian, hingga ayahku menghardikku. Melihat itu, Rasulullah r mengatakan, ‘Biarkan dia!’ Kemudian beliau bersabda, ‘Pakailah sampai usang, pakailah sampai usang, pakailah sampai usang’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5993)

Yang tak boleh luput dari perhatian, Rasulullah r memberikan gambaran kasih sayang dengan pelukan seperti kepada cucu beliau, Al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib c. Peristiwa ini dikisahkan oleh Ya’la bin Murrah z:
“Kami pernah keluar bersama Nabi r. Pada waktu itu, kami diundang makan. Tiba-tiba Al-Husain bermain-main di jalan. Rasulullah r pun segera mendahului orang-orang, kemudian membentangkan kedua tangan beliau, dan berlari kesana kemari, mencandai Al-Husain hingga berhasil memegangnya. Kemudian beliau letakkan salah satu tangan di dagu Al-Husain, dan tangan yang sebelah di kepalanya. Beliau pun memeluk dan menciumnya, lalu berkata, ‘Al-Husain adalah bagian dariku, dan aku bagian darinya. Allah mencintai orang yang mencintai Al-Hasan dan Al-Husain. Mereka itu dua orang dari anak cucu Ibrahim u’.” (Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 279)

Pengertian dan kasih sayang juga terlukis pada diri Rasulullah r ketika bersama ‘Aisyah bintu Abi Bakr c, istri yang masih sangat belia ketika dipersunting beliau. Kala itu, masih lekat kegemaran ‘Aisyah x dengan permainan sebagaimana gadis kecil seusianya. Hal ini dikisahkan sendiri oleh ‘Aisyah:

“Demi Allah, aku pernah melihat Rasulullah r berdiri di pintu kamarku. Ketika itu orang-orang Habasyah sedang bermain-main dengan alat perang mereka di masjid Rasulullah r. Beliau menutupiku dengan selendangnya agar aku dapat menyaksikan permainan mereka. Beliau berdiri hingga aku sendiri yang beringsut dari situ. Maka hendaknya kalian mengerti keadaan seorang gadis kecil yang masih muda usianya dan senang dengan permainan.” (Shahih, HR. Muslim, no. 892)

Dari sini terlihat kasih sayang, kebaikan akhlak dan pergaulan Rasulullah r terhadap keluarga dan istri-istri beliau, maupun yang lainnya. (Syarh Shahih Muslim, 6/184)

Dari sini pula tergambar bahwa saat itu ‘Aisyah x adalah seorang gadis kecil yang masih menyukai hiburan dan pertunjukan, teramat senang melihat permainan dan ingin menyaksikannya selama mungkin tanpa rasa bosan, kecuali setelah waktu yang lama. Ucapan ‘Aisyah di akhir penuturannya menunjukkan bahwa seorang gadis kecil masih berminat dan menyukai permainan. (Syarh Shahih Muslim, 6/185)

Demikian dunia mereka. Sarat canda dan permainan. Namun tentunya tak patut dilupakan pandangan syariat tentang jenis-jenis permainan yang boleh digunakan oleh anak. ‘Aisyah x menceritakan:

“Dulu aku biasa bermain boneka-boneka perempuan di sisi Rasulullah r, dan aku memiliki beberapa teman yang biasa bermain denganku. Apabila Rasulullah r datang, mereka bersembunyi dari beliau. Kemudian beliau menggiring mereka kembali padaku, lalu mereka bermain lagi bersamaku.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6130 dan Muslim no. 2440)

Kisah ‘Aisyah x ini membuahkan faidah tentang bolehnya anak-anak perempuan bermain boneka untuk mengajarkan dan melatih mereka tentang urusan yang berkaitan dengan diri mereka, rumah tangga dan anak-anak.  Hal ini termasuk pengkhususan dari keumuman gambar yang dilarang. Demikian diterangkan oleh Al-Imam An-Nawawi t. (Syarh Shahih Muslim, 15/204)1

Permainan ini pula yang diberikan oleh para ibu di kalangan shahabat ketika melatih anak-anak mereka berpuasa sehingga perhatian mereka beralih dari makanan. Hal ini diceritakan oleh Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz x:
“Nabi r mengutus seseorang kepada penduduk Anshar pada pagi hari ‘Asyura untuk mengumumkan, barangsiapa yang pada pagi harinya dalam keadaan tidak berpuasa, maka hendaknya menyempurnakan sisa harinya dengan berpuasa. Dan barangsiapa pada pagi harinya dalam keadaan berpuasa, maka hendaknya dia berpuasa pada hari itu. Maka kami pun berpuasa setelah itu dan menyuruh anak-anak kami turut berpuasa. Kami membuat mainan dari wol untuk mereka. Jika mereka menangis karena minta makan, kami berikan mainan itu, hingga tiba waktu berbuka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 1960 dan Muslim no. 1136)

Asy-Syaikh Muqbil t membawakan hadits ‘Aisyah dan hadits Ar-Rubayyi’ ini dalam kitabnya Hukmu Tashwir Dzawatil Arwah pada bab “Bolehnya menggunakan mainan dari wol dan kain untuk anak-anak”. (Hukmu Tashwir, hal. 59)

Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu hafizhahullah menjelaskan bolehnya anak-anak perempuan bermain dengan mainan berbentuk anak kecil yang dibuat dari perca, yang dapat dikenakan pakaian, dimandikan dan ditidurkannya. Ini bermanfaat dalam rangka mengajari mereka tentang pendidikan anak ketika kelak mereka menjadi ibu. Akan tetapi, tidak boleh membeli mainan (boneka) asing untuk mereka, terutama boneka-boneka yang berbentuk wanita asing yang membuka aurat, sehingga anak-anak akan belajar dan mengikuti mereka. (Kaifa Nurabbi Auladana, hal. 53)

Begitu pun masalah permainan ini dijumpai di kalangan para pendahulu kita yang shalih. Di antara mereka ada Ibrahim bin Yazid An-Nakha’i t yang menyatakan:

“Shahabat-shahabat kami memberikan keringanan bagi kami pada seluruh jenis permainan, kecuali anjing.” Abu Abdillah (Al-Imam Al-Bukhari) mengatakan: “Yang dimaksud di sini adalah permainan untuk anak-anak.” (Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 976: shahihul isnad maqthu’)

Namun ada hal yang tidak boleh dilalaikan oleh ayah bunda. Yakni agar melarang anak melakukan permainan yang dilarang oleh syariat, seperti permainan dadu. Rasulullah r bahkan memberikan ancaman kepada orang-orang yang bermain dadu. Ini disampaikan oleh Abu Musa Al-Asy’ari bahwa Rasulullah r bersabda:
“Barangsiapa bermain dengan dadu, maka dia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 957: hasan)

Dijelaskan pula oleh Abdullah bin Mas’ud z yang mengatakan:
“Hati-hatilah kalian terhadap dua dadu ini, karena keduanya ini termasuk perjudian.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 958: shahih)

Bahkan para shahabat tidak segan bersikap keras bila melihat salah seorang dari keluarganya bermain dadu. Hal ini pernah dilakukan oleh Abdullah bin ‘Umar c, sebagaimana dikisahkan oleh Nafi’:

“Apabila Abdullah bin ‘Umar mendapati salah seorang dari anggota keluarganya bermain dadu, maka beliau memukulnya dan memecahkan dadu itu.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 960: shahihul isnad mauquf)

Inilah dunia anak. Dunia bermain dan canda tawa. Sebagai cerminan rasa kasih dari sanubari, tak inginkah ayah dan ibu turut bersama mereka menikmati kegembiraan dalam naungan pengajaran Nabi r…? Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.


Namun sebagian ulama, seperti Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berpendapat bahwa boneka-boneka mainan ‘Aisyah x bentuknya sederhana sekali dan tidak begitu persis menyerupai makhluk aslinya. Adapun boneka-boneka sekarang yang bentuknya begitu persis dengan aslinya bahkan bisa bergerak dan bersuara maka lebih baik (utama) menghindarinya. Bila hendak berhati-hati maka kepalanya dicopot atau dipanaskan sampai menjadi lembek lelu disederhanakan sehingga tidak persis dengan aslinya, atau yang semacamnya. Lihat Majmu’ah As-ilatin Tuhimmu Al-Usrah Al-Muslimah, hal. 135-136. (ed)

Dinukil dari:

http://www.asysyariah.com/sakinah/permata-hati/858-bersamamu-menyusuri-duniamu-permata-hati-edisi-7.html

Bunda, Kemanakan Engaku Bawa?


Anak adalah amanah. Membesarkan anak bukan semata dengan memenuhi berbagai keinginannya. Lebih dari itu, yang paling penting adalah bagaimana menanamkan pemahaman agama sejak dini, sehingga anak bisa mengenal Allah l, Nabi-Nya, serta memiliki akhlak mulia.

Anak adalah karunia dan nikmat dari Allah l. Terasa bahagia hati tatkala melihat mereka, terasa sejuk mata saat memandang mereka. Begitu pun jiwa terasa bahagia dengan keceriaan mereka. Bahkan nikmat Allah l yang satu ini termasuk dalam doa Nabi Zakaria q. Beliau mengatakan, “Rabb-ku, janganlah Kau membiarkanku seorang diri, sesungguhnya Engkau sebaik-baik yang mewarisi.” (al-Anbiya: 89)

Anak adalah perhiasan hidup di dunia. Orang yang tidak dikaruniai anak akan mengetahui betapa besar nikmat ini.

Adapun dirimu, sungguh engkau adalah seorang ibu yang akan dimintai pertanggungjawaban atas amanah yang telah Allah l bebankan kepadamu pada hari kiamat nanti, apakah engkau menjaganya ataukah menyia-nyiakannya?
Ketahuilah olehmu, kesempurnaan perhiasan seorang anak tidaklah akan diraih kecuali dengan agama dan kebaikan akhlaknya. Bila tidak demikian, anak hanya akan menjadi musibah bagi kedua orang tuanya di dunia dan akhirat.

Banyak masalah yang berkaitan dengan pendidikan mereka secara umum, akan tetapi kita tidak akan membahas panjang lebar, namun sekadar menyinggung beberapa perkara yang paling penting:

q Bersemangatlah untuk menyela-matkan akidah mereka dari perkara-perkara yang bisa mengotorinya. Hindarkanlah mereka dari memakai jimat-jimat, meramal nasib dengan melihat garis tangan, atau bentuk-bentuk ramalan yang lainnya. Jadikanlah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya n sebagai sesuatu yang agung dalam hati mereka.

q    Bersemangatlah dalam menanam-kan keimanan, kebaikan, dan perasaan selalu diawasi oleh Allah l dalam hati mereka. Renungkanlah wasiat Luqman kepada anak-anaknya:“Wahai anakku, sesungguhnya jika ada (suatu perbuatan) seberat biji sawi berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah tetap mendatangkannya (membalasnya).” (Luqman: 16)
Mereka harus senantiasa diingatkan bahwa Allah Maha Mengawasi dan Maha Melihat amalan hamba-hamba-Nya.

Diriwayatkan dari Tsabit bin Qais dari Anas bin Malik z, ia mengisahkan, “Rasulullah mendatangiku ketika aku sedang bermain dengan teman-temanku. Beliau memberi salam kepada kami, kemudian mengutusku untuk suatu keperluan, sehingga aku terlambat datang kepada ibuku. Ketika aku datang, ibuku bertanya, ‘Apa yang membuatmu terlambat?’ Maka aku menjawab, ‘Rasulullah n mengutusku untuk suatu keperluan.’ Ibuku bertanya lagi, ‘Apa keperluan beliau?’ Aku katakan, ‘Ini rahasia.’ Maka ibuku pun mengatakan, ‘Kalau begitu, jangan sekali-kali kau ceritakan rahasia Rasulullah n kepada seorang pun.’ Anas berkata, ‘Demi Allah, seandainya aku memberitahukan rahasia itu kepada seseorang, sungguh aku juga akan memberitahukan kepadamu, wahai Tsabit!’.” (Sahih, HR. Muslim)

Perhatikanlah. Sang ibu tidaklah menghukum anaknya ketika merahasiakan urusan Rasulullah n terhadapnya. Berbeda dengan yang dilakukan oleh sebagian ibu yang lain. Bahkan beberapa di antara kaum ibu terlalu banyak bertanya kepada anak mereka tentang hal-hal yang tidak layak diketahui banyak orang dari suatu rumah yang dikunjungi si anak. Juga tentang segala yang terjadi di antara penghuni rumah tersebut. Dengan semua itu, tanpa disadari sang ibu telah menanamkan dalam diri anaknya sifat fudhul (terlalu ingin tahu urusan orang lain) dan suka menyebarkan rahasia.

q    Ingatkanlah mereka, bahwa Allah Mahaperkasa, menghukum hamba-hamba-Nya yang bermaksiat kepada-Nya, Maha Pengampun dan Maha Penyayang terhadap orang-orang yang bertaubat dan kembali kepada-Nya. Ingatkanlah mereka tentang maut dan beratnya kematian, tentang alam kubur dan kegelapannya, serta tentang kiamat dan kengerian pada saat itu.
Perintahkanlah mereka untuk selalu taat kepada Allah l, terlebih lagi dalam perkara shalat. Dampingilah mereka dalam melaksanakannya dan bangunkan mereka dari tidurnya untuk shalat. Tanamkanlah dalam diri-diri mereka agungnya kedudukan shalat. Waspadalah dari perasaan kasih sayang terhadap mereka yang justru membuatmu tidak membangunkan mereka, yang dapat menyebabkan dirimu dan dirinya masuk ke dalam neraka. Wal ‘iyadzu billah.

Biasakanlah mereka berpuasa sejak kanak-kanak agar mudah melaksanakannya ketika usia mereka telah baligh dan sadarkanlah mereka terhadap pengawasan Allah l. Sesungguhnya puasa adalah pendidik paling besar bagi mereka agar mereka menyadari bahwa Allah Maha Mengawasi.

q    Awasilah anak-anakmu dan jangan biarkan mereka bermudah-mudah melakukan perkara-perkara yang mungkar, sementara engkau mengetahuinya. Janganlah berdiam diri sementara engkau mengetahui bahwa putrimu mendengarkan nyanyian (musik), mengenakan cat kuku (kuteks) lalu berwudhu tanpa menghilangkannya, mengerik alisnya, melepaskan hijab yang syar’i, keluar dengan memakai wewangian, bepergian sendiri baik ke pasar maupun ke tempat-tempat umum lainnya, mengendarai mobil berdua saja dengan sopir, atau ia suka membaca majalah-majalah yang dapat merusaknya!
Janganlah engkau meletakkan telepon di kamar pribadinya dan awasilah ia dari jauh. Janganlah bersikap terlalu percaya yang berlebihan atau merasa waswas yang keterlaluan yang dapat memengaruhi diri putrimu hingga ia kehilangan rasa percaya dirinya.

Wahai ibu yang mulia, hindarilah memberikan protes tanpa mampu berbuat sesuatu kepadanya atau engkau semata-mata membenci kemungkaran yang dilakukannya tanpa tindakan apapun. Akan tetapi, jadilah orang yang kuat memegang al-haq yang tidak akan ridha pada sesuatu yang batil, namun lemah lembut dan penyayang dalam perkara-perkara selain itu. Didiklah dengan baik putrimu karena kelak di hari akhir dia bisa menjadi tabir/penghalang api neraka darimu.

Asy-Syaikh Ibnu Baz t berkata, “Berbuat baik terhadap anak-anak perempuan diwujudkan dengan mendidik mereka dengan pendidikan Islami, mengajarkan ilmu kepada mereka, membesarkan mereka di atas al-haq dan semangat untuk menjaga kehormatan diri, serta menjauhkan mereka dari perkara-perkara yang diharamkan Allah l berupa tabarruj1 dan selainnya. Demikianlah metode mendidik anak-anak perempuan ataupun anak laki-laki, juga dengan hal-hal selain itu yang termasuk sisi-sisi kebaikan. Sehingga mereka semua terdidik untuk taat kepada Allah l dan Rasul-Nya, serta menjauhkan diri dari perkara-perkara yang diharamkan Allah l dan menegakkan hak-hak-Nya. Dengan demikian, kita ketahui bahwasanya maksud berbuat baik di sini bukanlah semata-mata memberi mereka makan, minum, dan pakaian saja. Bahkan maksudnya lebih besar daripada itu semua, yaitu berbuat kebaikan kepada mereka, baik dalam masalah agama maupun dunia.”
Beliau juga berkata, ”Hadits ini ditujukan kepada ayah atau ibu secara umum.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Muta’addidah, 4/377)

q Peringatkan putra-putrimu dari teman-teman yang jelek dan jelaskan bahayanya bergaul dengan mereka. Jagalah mereka dari bermain di jalanan serta bahayanya. Buatlah mereka sibuk dengan perkara-perkara yang memberi manfaat pada diri mereka, seperti menghafal Al-Qur’an di masjid.

Janganlah engkau memasukkan alat-alat yang diharamkan ke dalam rumah, terlebih lagi video (sekarang VCD, DVD, dsb), walaupun engkau memberikannya dengan maksud sekadar untuk menghibur mereka.

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di t berkata dalam tafsirnya, “Barang siapa meninggalkan sesuatu yang disukai oleh hawa nafsunya karena Allah l, maka Allah l akan memberi ganti yang lebih baik darinya di dunia dan akhirat. Demikianlah. Barang siapa meninggalkan maksiat karena Allah l, padahal hawa nafsunya ingin melakukannya, Allah l akan menggantikannya dengan keimanan dalam hatinya, berikut keluasan, kelapangan, dan berkah dalam rezekinya serta kesehatan badannya, disamping pahala dari Allah l yang ia tidak akan mampu menggambarkannya.” (Taisir al-Karimir Rahman)

Waspadalah, wahai saudariku muslimah, dari mendoakan kejelekan atas anak-anakmu, walaupun dirimu dalam keadaan marah. Bisa jadi doamu bertepatan dengan waktu terkabulnya doa, hingga doa jelekmu itu terkabul. Sebaliknya, perbanyaklah mendoakan kebaikan bagi mereka.

Kita memohon kepada Allah k untuk memperbaiki anak-anak kita serta menjadikan mereka penghibur hati bagi kita di dunia maupun di akhirat. Semoga Allah l menolong kita dalam mengemban amanah ini.

(Diterjemahkan dengan ringkas oleh Ummu ‘Affan bintu Abi Salim dari tulisan aslinya yang bertajuk Tarbiyatul Abna’ ‘Ala Manhaj as-Salaf, sebuah artikel yang diambil dari Ruknul Mar’ah as-Salafiyah, http://www.sahab.net)


1 Tabarruj adalah bersolek dan berhias di hadapan selain mahram.

Dinukil dari: http://www.asysyariah.com/sakinah/mutiara-kata/600-bunda-kemanakan-engaku-bawa-mutiara-kata-edisi-1.html