Tag Archives: suami

Sampai Batas Manakah Wajib Bagi Seorang Wanita Mentaati Suaminya?


Penulis: Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wad’i rohimahulloh

Pertanyaan :

Sampai batas manakah wajib bagi seorang wanita untuk mentaati suaminya?

Jawaban :

Adapun masalah-masalah yang wajib (bagi seorang istri untuk taat pada suaminya) adalah dalam masalah-masalah yang diwajibkan oleh Alloh untuk mentaatinya, seperti jika suaminya mengajaknya ke tempat tidur. Dan juga jika suaminya faqir, maka seharusnya ia bersabar bersamanya semampunya. Akan tetapi ada yang lebih luas lagi dari kewajiban-kewajiban tersebut, yaitu kami nasihatkan kepadanya agar ia bersabar atas suaminya dalam keadaan susah dan sedih, serta tidak membebaninya dengan apa-apa yang ia tidak mampu, tidak membebaninya dalam membeli peralatan-peralatan model-model yang baru, misalnya jika ia melihat mobil ia berkata : “belikan aku mobil seperti itu”, begitu juga dengan baju, ia semangat menginginkan model-model yang baru.

Yang seharusnya ia lakukan adalah bersabar dan bersikap yang baik kepada suaminya, dan mendidik anak-anaknya, dan mencucikan pakaiannya dan menolongnya dalam kebaikan, dan membuatkan makanannya jika perlu. Dan masalah ini adalah masalah saling tolong-menolong, terlebih-lebih kalian –insyaAlloh- adalah para penuntut ilmu, laki-laki dan wanita.

Kadang-kadang wanita memiliki waktu yang sempit dan melalaikan sebagian hak-hak suaminya maka hendaknya sang suami bersabar atas istrinya. Begitu pula kadang-kadang seorang suami memiliki waktu yang sempit dan melalaikan sebagian hak-hak istrinya, maka hendaknya sang istri bersabar atas suaminya.

Wallohul Musta’an.

Diterjemahkan dari : http://www.olamayemen.com/show_fatawa131.html, mengambil faidah dari : http://www.baiyt-essalafyat.com/vb/showthread.php?t=10986

إلى أي حد يجب على المرأة أن تطيع زوجها؟سؤال:إلى أي حد يجب على المرأة أن تطيع زوجها؟

الجواب : أما مسألة الوجوب ففيما أوجب الله عليها من إذا دعاها إلى فراشة . وكذلك أيضا إذا فقيرا فينبغي أن تصبر معه ما استطاعت . لكن هناك أوسع من الوجوب وهو الذي ننصح به أنها تصبر على زوجها في السراء والضراء وأنها لا تكلفه ما لايطيق ، ولا تكلفه بشراء الموديلات الجديدة ؛ إن رأت سيارة قالت : اشتر لنا مثل هذه السيارة ، وهكذا اللباس تحرص على الموديلات الجديدة ، فينبغي لها أن تصبر عليه وأن تُحسن أيضا إليه ، وإلى تربية أولاده ، وتغسل له ثيابه وتعينه على الخير ، وتحسن طعامه إن احتاج إلى ذلك . فالمسالة مسالة تعاون لاسيما وانتم – إن شاء الله – طلبة علم رجالا ونساء ، فقد يضيق الوقت على المرأة وتقصر في بعض حقوق زوجها فينبغي أن يصبرعليها . وقد يضيق الوقت على الرجل ويقصر في بعض حقوق امرأته فينبغي أن تصبر عليه . والله المستعان .

فتوى للشيخ مقبل بن هادي الوادعي “رحمه الله

Diterjemahkan : Ummu Shofiyyah al-Balitariyyah

Dinukil dari: http://ummushofi.wordpress.com/2009/10/06/sampai-batas-manakah-wajib-bagi-seorang-wanita-mentaati-suaminya/

 

Gambaran Pria Muslim di Rumahnya


Penulis: Al Ustadz Abu Muawiah Hammad

Dari Al-Aswad rahimahullah dia berkata: Aku pernah bertanya kepada ‘Aisyah tentang apa yang dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berada di rumah. Maka ‘Aisyah menjawab,

كَانَ يَكُونُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ

“Beliau selalu membantu pekerjaan keluarganya, dan jika datang waktu shalat maka beliau keluar untuk melaksanakan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 6939)

Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu dia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَزْهَرَ اللَّوْنِ كَأَنَّ عَرَقَهُ اللُّؤْلُؤُ إِذَا مَشَى تَكَفَّأَ وَلَا مَسِسْتُ دِيبَاجَةً وَلَا حَرِيرَةً أَلْيَنَ مِنْ كَفِّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا شَمِمْتُ مِسْكَةً وَلَا عَنْبَرَةً أَطْيَبَ مِنْ رَائِحَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat wangi kulitnya dan keringatnya bagaikan kilau mutiara. Apabila beliau berjalan, maka langkahnya terayun tegap. Sutera yang pernah saya sentuh tidak ada yang lebih halus daripada telapak tangan beliau. Minyak misk dan minyak ambar yang pernah saya cium, tidak ada yang melebihi semerbak wanginya daripada tubuh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.” (HR. Al-Bukhari no. 3561 dan Muslim no. 2309)

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu dia berkata:

خَدَمْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ سِنِينَ وَاللَّهِ مَا قَالَ لِي أُفًّا قَطُّ وَلَا قَالَ لِي لِشَيْءٍ لِمَ فَعَلْتَ كَذَا وَهَلَّا فَعَلْتَ كَذَا

“Aku melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selama sepuluh tahun. Demi Allah, selama itu beliau tidak pernah berkata ‘husy’ kepadaku. Beliau tidak pernah berkomentar tentang sesuatu yang aku lakukan dengan ucapan, “Kenapa engkau melakukan itu?!” “Kenapa kamu tidak mengerjakan itu?!” (HR. Muslim no. 4269)

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dia berkata;

مَا عَابَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا قَطُّ إِنْ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِلَّا تَرَكَهُ

“Tidaklah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mencela suatu makanan sekalipun. Jika beliau menyukainya maka beliau memakannya, dan bila beliau tidak menyukainya maka beliau meninggalkannya (tidak memakannya).” (HR. Al-Bukhari no. 5409 dan Muslim no. 2064)

Penjelasan ringkas:

Sungguh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam merupakan contoh dan suri tauladan terbaik bagi setiap lelaki dalam seluruh aspek kehidupannya, termasuk di dalamnya dalam perkara-perkara duniawi. Beliau adalah salaf (pendahulu) terbaik bagi seorang ayah terhadap anaknya, salaf terbaik bagi seorang suami kepada istrinya, dan salaf terbaik seorang majikan kepada pelayannya.

Beliau bukanlah suami yang menjadi beban atas istri dan keluarganya, karenanya walaupun beliau adalah seorang kepala negara yang wajib ditaati oleh rakyatnya, bahkan seorang nabi yang wajib dimuliakan oleh umatnya, walaupun dengan semua posisi tersebut, beliau tetap bekerja di dalam rumahnya dan membantu pekerjaan istri-istrinya sebagai bentuk tanggung jawab suami kepada istri. Beliau tidak menjadikan posisi beliau tersebut sebagai alasan untuk bermalas-malasan dalam mencari nafkah atau menunggu belah kasih dari umat, tidak sama sekali. Beliau sama sekali tidak menjadikan dakwah sebagai profesi yang dengannya beliau bisa mendapatkan harta dari mad’u (yang didakwahi) beliau. Hal itu karena beliau sendiri telah menegaskan sebagaimana yang tersebut dalam Al-Qur`an yang artinya, “Aku tidak pernah meminta upah dari kalian, upah atas dakwahku hanyalah dari Allah.”

Sebagai seorang suami, beliau memperlakukan para istri beliau dengan baik. Beliau memperlakukan mereka sebagaimana yang beliau senang diperlakukan seperti itu. Beliau tidak menyakiti mereka dengan sesuatu yang beliau tidak senang untuk disakiti dengannya. Karenanya beliau sekalipun tidak pernah mencela makanan yang dibuat oleh istrinya walaupun mungkin tidak sesuai dengan selera beliau. Beliau sangat menghargai usaha para istri beliau sebagaimana para istri beliau menghargai usaha beliau mencari nafkah. Suami adalah pemimpin mutlak dalam rumah tangga, yang di antara haknya adalah istri wajib melayaninya setiap kali dia mengajak istrinya untuk melakukan hubungan yang berkenaan dengan suami istri. Hanya saja, hak tersebut tidak menjadikan beliau zhalim kepada istri-istri beliau. Karenanya beliau shallallahu alaihi wasallam senantiasa menjaga agar tubuh beliau tetap harum dan bersih walaupun sedang berada di rumah bahkan walaupun sedang tidak sedang akan melakukan hubungan intim. Karena sebagaimana suami sangat senang jika istrinya berpenampilan indah dan bersih, maka demikian pula sebaliknya istri sangat senang jika suaminya berpenampilan indah dan bersih. Inilah di antara bentuk pengamalan firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan para istri berhak mendapatkan hak sebagaimana mereka juga memiliki kewajiban, dengan cara yang ma’ruf.”

Adapun selaku atasan atau majikan dalam pekerjaan, maka tidak perlu ditanya bagaimana sikap bersahabat beliau kepada bawahan atau pelayan beliau, dan bagaimana tingginya apresiasi beliau kepada mereka. Beliau tidak pernah memukul mereka, tidak pernah menghardik mereka, dan tidak pernah mengkritisi apa yang mereka kerjakan, baik pekerjaan mereka itu tepat maupun kurang tepat. Karenanya sangat wajar jika Anas bin Malik radhiallahu anhu betah melayani beliau sampai 10 tahun lamanya. Itupun hubungannya dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam berakhir bukan karena dia dipecat atau mengundurkan diri, akan tetapi karena Nabi shallallahu alaihi wasallam lebih dahulu meninggal. Tengok juga bagaimana salah seorang pelayan beliau yang beragam Yahudi, di akhir hidupnya masuk ke dalam Islam karena terpengaruh dengan baiknya akhlak beliau selaku majikan. Semua ini sebagai pembenaran firman Allah Ta’ala yang menyatakan bahwa kedudukan seorang muslim hanya ditentukan dengan kadar ketakwaannya kepada Allah, selain daripada itu dari urusan duniawi maka mereka semua setara dan sejajar, tidak ada yang lebih rendah daripada yang lainnya.

Subhanallah demikianlah gambaran pria muslim yang sebenarnya. Mereka menyadari betul bahwa mencontoh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam semua perkara di atas dan selainnya tidaklah mengurangi kedudukan mereka sebagai serang pria, bahkan itu akan mengangkat kedudukannya sebagai seorang pria muslim karena dia telah mencontoh Nabinya yang merupakan panutannya. Seandainya orang-orang non muslim mengetahui keindahan akhlak seorang muslim yang sebenarnya dari seluruh sisinya, maka demi Allah niscaya mereka akan bersegera untuk masuk ke dalam Islam dengan berbondong-bondong guna mendapatkan keutamaannya.

Ya Allah, karuniakanlah kepada setiap lelaki muslim di dunia ini akhlak sebagaimana akhlak Nabi-Mu. Berikanlah kesadaran kepada mereka semua bahwa walaupun memang tidak wajib mengikuti Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam masalah dunia, akan tetapi beliau tetaplah merupakan tauladan terbaik bagi mereka dalam urusan dunia mereka. Innaka Waliyyu dzalika wal Qadiru alaih.

Dinukil dari:

http://al-atsariyyah.com/akhlak-dan-adab/gambaran-pria-muslim-di-rumahnya.html#more-2485

WANITA SALIHAH BERSAMA SUAMI TERAKHIRNYA DI DALAM SURGA


Penulis: Asy Syaikh Muhammad Ali Firkaus

Beliau ditanya: setelah masa iddah-ku selesai disebabkan karena suamiku meninggal, ada beberapa orang yang datang melamarku, dan aku enggan menikah agar aku menjadi istri bagi suami pertamaku yang telah meninggal, yang ketika aku bersamanya kami memiliki 3 orang anak. Alasanku dalam hal ini adalah sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam:

«المَرْأَةُ لآخِرِ أَزْوَاجِهَا»

“seorang wanita itu bersama suami terakhirnya.”

Dan telah dipraktekkan pula oleh Ummu Darda’ radhiallahu anha, apakah aku berdosa jika aku menolak untuk menerima pinangan orang yang telah diridhai agama dan akhlaknya?

Beliau -hafizhahullah- menjawab:

الحمدُ لله ربِّ العالمين، والصلاةُ والسلامُ على مَنْ أرسله اللهُ رحمةً للعالمين، وعلى آله وصَحْبِهِ وإخوانِه إلى يوم الدِّين، أمّا بعد:

Seorang wanita jika berada dibawah bimbingan seorang suami yang saleh lalu suaminya meninggal, dan si istri terus berstatus sebagai janda setelahnya dan tidak menikah, Allah akan mengumpulkan keduanya di dalam surga, dan jika dia memiliki beberapa suami di dunia, maka dia di dalam surga bersama suami terakhirnya jika mereka sama dalam akhlak dan kesalehannya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa aalihi wasallam :

«المَرْأَةُ لآخِرِ أَزْوَاجِهَا»

“seorang wanita bersama suami terakhirnya.”

(Dikeluarkan Ath-Thabarani dalam “al-mu’jam al-ausath” (3/275),dari hadits Abu Darda’ radhiallahu anhu. Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam silsilah Ash-shahihah (3/275)

Seorang wanita jika mengkhawatirkan atas dirinya fitnah atau dia tidak punya kemampuan untuk sendirian dalam mengurusi dirinya dan keperluan anak-anaknya baik dari sisi nafkahnya, dan juga pendidikannya, maka jika ada seorang lelaki yang datang melamarnya yang telah diridhai agama serta akhlaknya, dan lelaki ini punya kemampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhannya serta nafkah untuk anak-anaknya, maka tidak sepantasnya wanita tersebut menolaknya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa aalihi wasallam :

إِذَا أَتَاكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ

“jika ada orang yang datang kepadamu lelaki yang telah engkau senangi agama dan akhlaknya maka nikahkanlah dia.”

(HR.Tirmidzi,kitab annikah,bab: ma jaa’ idza jaa’akum man tardhaunadiinahu fazawwijuuhu (1108),Baihaqi, kitab an-nikah,bab: at-targhib fit tazwiij min dzid diin wal khluluq al-mardhi (13863), dari hadits Abu Hatim Al-Muzani radhiallahu anhu, dihasankan Al-Albani dalam al-irwaa’ (6/266).)

Dan juga mengamalkan kaedah yang berbunyi:

«دَرْءُ المَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ المَصَالِحِ»

“menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mendatangkan maslahat.”

Jika suami pertama itu setara dengan suami pertamanya yang telah meninggal dalam hal akhlak dan kesalehannya,maka dia (wanita tersebut) bersama yang paling terakhir dari keduanya, namun jika tidak setara maka dia memilih yang paling baik kesalehan dan akhlaknya. Telah datang riwayat yang semakna dengan ini yang kedudukannya lemah dan mungkar dari hadits Ummu Salamah radhiallahu anha, dimana Dia bertanya kepada Nabi Shallallahu alaihi wa aalihi wasallam tentang seorang wanita yang menikah dengan dua lelaki, tiga dan empat, lalu wanita tersebut meninggal, dan mereka (para suaminya) masuk surga bersamanya, siapakah yang menjadi suaminya? Jawab Rasul Shallallahu alaihi wa aalihi wasallam:

«يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهَا تُخَيَّرُ فَتَخْتَارُ أَحْسَنَهُمْ خُلُقًا»

“wahai Ummu Salamah,dia akan diberi pilihan sehingga dia memilih yang paling baik diantara mereka.”

(dikeluarkan Thabarani dalam almu’jam al-kabir (23/367),dan dalam al-ausath (3/279), dari hadits Ummu Salamah radhiallahu anha. Berkata Al-Haitsami dalam “majma’ az-zawaaid” (7/255):”diriwayatkan Thabarani dan padanya terdapat seseorang bernama Sulaiman bin Abi Karimah,Dia dilemahkan oleh Abu Hatim dan Ibnu Adi.” Juga dilemahkan Al-Albani dalam “dha’if at-targhib wat tarhib” (2/254) . Demikian pula dari hadits Ummu Habibah radhiallahu anha dikeluarkan At-Thabarani dalam “al-kabir” (23/222), Abd bin Humaid dalam musnadnya (1/365). Berkata Al-Haitsami dalam majma’ az-zawaaid (8/52) : “diriwayatkan Ath-Thabarani dan Al-Bazzar secara ringkas, padanya terdapat Ubaid bin Ishaq dan dia seorang yang matruk (ditinggal haditsnya), sedangkan Abu Hatim meridhainya, dan dia perawi paling buruk keadaannya.”

Hanya saja,mungkin dijadikan sebagai dalil dari keumuman firman Allah Azza wajalla:

﴿فِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الأَنفُسُ﴾

“di dalamnya (surga) apa saja yang disenangi oleh jiwa.”

(QS.Az-Zukhruf: 71)

Maka dia diberi pilihan sehingga diapun memilih yang dia sukai akhlak dan kesalehannya, sebagaimana faedah yang juga dipetik dari firman-Nya:

﴿هُمْ وَأَزْوَاجُهُمْ فِي ظِلاَلٍ﴾

“mereka bersama dengan istri-istri mereka dibawah naungan (surga).”

(QS.Yasin: 56)

Dimana seorang wanita bersama dengan yang paling mendekatinya dalam hal agama,akhlak, watak, disebabkan pernikahan yang melahirkan perasaan cinta dan kasih sayang,saling akrab dan saling mencintai, berdasarkan firman Allah Azza wajalla:

﴿وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ﴾

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”

(QS.Ruum:21)

Demikian pula seorang wanita yang masih hidup sendiri dan meninggal dalam keadaan belum sempat menikah, maka dia diberi pilihan sehingga dia memilih siapa yang dia sukai yang lebih mirip dengannya dalam hal tabiat dan akhlak, lalu Allah Azza wajalla mewujudkan apa yang menjadi permintaannya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa aalihi wasallam:

«مَا فِي الجَنَّةَ أَعْزَبُ»

“tidak ada bujangan di dalam surga.”

(dikeluarkan Imam Muslim dalam shahihnya,kitab: al-jannah wa na’imuha, bab: awwalu zumratin tadkhulul jannah… : 4147, dan Ahmad dalam musnadnya (7112) dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu)

Dan ilmu ada disisi Allah, dan akhir ucapan kami alhamdulillahi rabbil ‘alamin

Shalawat dan salam atas Nabi kita Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, dan saudara-saudaranya hingga hari kiamat.

Al-Jazair,26 dzulqa’dah 1429 H

Bertepatan dengan tanggal: 23 November 2008 M

Sumber : http://www.salafybpp.com/

Dinukil dari: http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=1691

Fitnah Istri


Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah

Kecintaan kepada istri, tanpa disadari banyak menggiring suami ke bibir jurang petaka. Betapa banyak suami yang memusuhi orang tuanya demi membela istrinya. Betapa banyak suami yang berani menyeberangi batasan-batasan syariat karena terlalu menuruti keinginan istri. Malangnya, setelah hubungan kekerabatan berantakan, karir hancur, harta tak ada lagi yang tersisa, banyak suami yang belum juga menyadari kesalahannya.

Cinta kepada istri merupakan tabiat seorang insan dan merupakan anugerah Ilahi yang diberikan-Nya kepada sepasang insan yang menyatukan kata dan hati mereka dalam ikatan pernikahan.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Rum: 21)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling mulia dan sosok yang paling sempurna, dianugerahi rasa cinta kepada para istrinya, yang beliau nyatakan dalam sabdanya:

حُبِّبَ إِلَيَّ مِنَ الدُنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيْبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِيْ فِي الصَّلاَةِ

“Dicintakan kepadaku dari dunia kalian,1 para wanita (istri) dan minyak wangi, dan dijadikan penyejuk mataku di dalam shalat.”2
Namun yang disayangkan, terkadang rasa cinta itu membawa seorang suami kepada perbuatan yang tercela. Karena menuruti istri tercinta, ia rela memutuskan hubungan dengan orang tuanya. Ia berani melakukan korupsi di tempat kerjanya. Ia enggan untuk turun berjihad fi sabilillah ketika ada seruan jihad dari penguasa. Ia bahkan siap menempuh segala cara demi membahagiakan istri tercinta walaupun harus melanggar larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika sudah seperti ini keadaannya, berarti cintanya itu membawa madharat baginya. Ia telah terfitnah dengan istrinya. Yang lebih berbahaya lagi bila cinta kepada istri lebih dia dahulukan dari segala hal. Bahkan lebih dia dahulukan daripada Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rasul-Nya dan agama-Nya. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengancam dalam firman-Nya:

قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيْلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ وَاللهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِيْنَ

“Katakanlah: ‘Jika bapak-bapak kalian, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (At-Taubah: 24)
Karena adanya dampak cinta yang berlebihan seperti inilah, Allah Subhanahu wa Ta’ala nyatakan bahwa di antara istri dan anak, ada yang menjadi musuh bagi seseorang dalam status dia sebagai suami atau sebagai ayah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلاَدِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوْهُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istri dan anak-anak kalian ada yang menjadi musuh bagi kalian, maka hati-hati/waspadalah kalian dari mereka.” (At-Taghabun: 14)

Musuh di sini dalam arti si istri atau si anak dapat melalaikan sang suami atau sang ayah dari melakukan amal shalih. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلاَ أَوْلاَدُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta kalian dan jangan pula anak-anak kalian melalaikan kalian dari berdzikir/mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Al-Munafiqun: 9)

Mujahid berkata tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلاَدِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوْهُمْ

“Sesungguhnya di antara istri-istri dan anak-anak kalian ada yang menjadi musuh bagi kalian, maka hati-hati/waspadalah kalian dari mereka.” Yakni, cinta seorang lelaki/suami kepada istrinya membawanya untuk memutuskan silaturahim atau bermaksiat kepada Rabbnya. Si suami tidak mampu berbuat apa-apa karena cintanya kepada si istri kecuali sekedar menuruti istrinya.” (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 8/111)
Beliau juga berkata: “Kecintaan kepada istri dan anak membawa mereka untuk mengambil penghasilan yang haram, lalu diberikan kepada orang-orang yang dicintai ini.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 18/94)
Selain itu, istri dan anak dapat memalingkan mereka dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan membuat mereka lamban untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur`an, 12/116)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan: “Ayat ini umum, meliputi seluruh maksiat yang dilakukan seseorang karena istri dan anak.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 18/93-94)
Setelah mengingatkan keberadaan mereka sebagai musuh, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan: فَاحْذَرُوْهُمْ (maka hati-hati/waspadalah kalian dari mereka). Berhati-hati di sini, kata Ibnu Zaid, adalah berhati-hati menjaga agama kalian. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 8/111)

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan: “Berhati-hatinya kalian dalam menjaga diri kalian disebabkan dua hal. Bisa jadi karena mereka akan membuat kemudaratan/bahaya pada jasmani, bisa pula kemadharatan pada agama. Kemudaratan tubuh berkaitan dengan dunia, sedangkan kemudaratan pada agama berkaitan dengan akhirat.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 18/94)

Lantas, bagaimana bisa seorang istri yang merupakan teman hidup yang selalu menemani dan mendampingi, dinyatakan sebagai musuh? Dalam hal ini, Al-Qadhi Abu Bakr ibnul ‘Arabi rahimahullah telah menerangkan: “Yang namanya musuh tidaklah mesti diri/individunya sebagai musuh. Namun dia menjadi musuh karena perbuatannya. Dengan demikian, apabila istri dan anak berperilaku seperti musuh, jadilah ia sebagai musuh. Dan tidak ada perbuatan yang lebih jelek daripada menghalangi seorang hamba dari ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Ahkamul Qur`an, 4/1818)
Di dalam tafsirnya terhadap ayat di atas, Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata: “Ini merupakan peringatan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kaum mukminin agar tidak tertipu dan terpedaya oleh istri dan anak-anak, karena sebagian mereka merupakan musuh bagi kalian. Yang namanya musuh, ia menginginkan kejelekan bagimu. Dan tugasmu adalah berhati-hati dari orang yang bersifat demikian. Sementara jiwa itu memang tercipta untuk mencintai istri dan anak-anak. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menasehati hamba-hamba-Nya agar kecintaan itu tidak sampai membuat mereka terikat dengan tuntutan istri dan anak-anak, sementara tuntutan itu mengandung perkara yang dilarang secara syar’i. Allah Subhanahu wa Ta’ala menekankan mereka untuk berpegang dengan perintah-perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-Nya, dengan menjanjikan apa yang ada di sisi-Nya berupa pahala yang besar yang mencakup tuntutan yang tinggi dan cinta yang mahal. Juga agar mereka lebih mementingkan akhirat daripada dunia yang fana yang akan berakhir.

Karena menaati istri dan anak-anak menimbulkan kemudaratan bagi seorang hamba dan adanya peringatan dari hal tersebut, bisa jadi memunculkan anggapan bahwa istri dan anak-anak hendaknya disikapi secara keras, serta harus diberikan hukuman kepada mereka. Namun ternyata, Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya memerintahkan untuk berhati-hati dari mereka, memaafkan mereka, tidak menghukum mereka. Karena dalam pemaaafan ada kemaslahatan/kebaikan yang tidak terbatas. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ

“Dan jika kalian memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni mereka maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taghabun: 14) [Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 868]
Demikianlah keberadaan seorang wanita, baik statusnya sebagai istri atau bukan, merupakan fitnah terbesar bagi lelaki. Karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala mendahulukan penyebutan wanita ketika mengurutkan kecintaan kepada syahwat (kesenangan yang diinginkan dari dunia).

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَاْلأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik.” (Ali ‘Imran: 14)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang perkara yang dijadikan indah bagi manusia dalam kehidupan dunia ini berupa ragam kelezatan, dari wanita, anak-anak, dan selainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala memulai penyebutan wanita karena fitnahnya yang paling besar. Sebagaimana dalam hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

“Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalku fitnah yang paling berbahaya bagi lelaki daripada fitnah wanita.”3 (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 1/15)

Mungkin timbul pertanyaan, bila istri dapat menjadi musuh bagi suaminya, apakah juga berlaku sebaliknya, suami dapat menjadi musuh bagi istrinya?

Al-Qadhi Ibnul ‘Arabi rahimahullah menjawab permasalahan ini: “Sebagaimana seorang lelaki/suami memiliki musuh dari kalangan anak dan istrinya, demikian pula wanita/istri. Suami dan anaknya dapat menjadi musuh baginya dengan makna yang sama. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: مِنْ أَزْوَاجِكُمْ (di antara istri-istri kalian atau pasangan hidup kalian) ini sifatnya umum, masuk di dalamnya lelaki (suami) dan wanita (istri) karena keduanya tercakup dalam seluruh ayat.” (Ahkamul Qur`an, 4/1818)

Dengan demikian, janganlah kecintaan seorang suami kepada istrinya dan sebaliknya kecintaan istri kepada suaminya membawa keduanya untuk melanggar larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala, berbuat maksiat, menghalalkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan atau sebaliknya, mengharamkan untuk dirinya apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala halalkan karena ingin mencari keridhaan pasangannya. Nabi kita yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditegur oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika beliau sempat mengharamkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala halalkan karena ingin mencari keridhaan istri-istri beliau.4 Allah Subhanahu wa Ta’ala abadikan hal itu dalam Al-Qur`an:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاةَ أَزْوَاجِكَ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ

“Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu5, karena engkau mencari keridhaan (kesenangan hati) istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Tahrim: 1)

Nasehat kepada Istri

Karena engkau –wahai seorang istri– dapat menjadi fitnah bagi suamimu, maka bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jangan sampai engkau menjadi musuh dalam selimut baginya. Jangan engkau jerat dia atas nama cinta, hingga ia terjaring dan tak dapat lepas darinya. Akibatnya, yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana mencari ridhamu, mengikuti kemauanmu, walaupun hal itu bertentangan dengan syariat.

Bertakwalah engkau kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jadilah istri yang shalihah dengan membantu suamimu agar selalu taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Semestinya engkau tidak suka bila ia melakukan perkara yang melanggar syar’i karena ingin menyenangkan hatimu. Keberadaanmu di sisinya, sebagai teman hidupnya, jangan menjadi penghalang baginya untuk menjadi hamba yang bertakwa dan menjadi anak yang shalih bagi kedua orang tuanya.
Cintailah suamimu, syukurilah dengan cara engkau semakin taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, menunaikan kewajibanmu dengan sebaik mungkin, dan mencurahkan segala kemampuanmu untuk memenuhi haknya sebagai suami.
Zuhud terhadap dunia, jangan engkau abaikan. Sehingga engkau tidak menuntut suamimu agar memenuhi kenikmatan dunia yang engkau idamkan. Pautkan selalu hatimu dengan darul akhirat agar engkau tidak menghamba pada dunia yang tidak kekal.

Catatan Akhir

Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah dalam Sunan-nya (no. 3317) membawakan asbabun nuzul (sebab turunnya) surah At-Taghabun ayat 14 di atas, dari riwayat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Tatkala ada yang bertanya kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat ini, beliau menyatakan: “Mereka adalah orang-orang yang telah berislam dari penduduk Makkah dan mereka ingin mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun istri dan anak mereka enggan ditinggalkan mereka. Ketika mereka pada akhirnya mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka melihat orang-orang yang lebih dahulu berhijrah telah tafaqquh fid dien (mendalami agama), mereka pun berkeinginan untuk memberi hukuman kepada istri dan anak-anak mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala lalu menurunkan ayat6:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَ أَوْلاَدِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوْهُمْ

Namun riwayat asbabun nuzul ini dha’if (lemah) sebagaimana dinyatakan oleh Asy-Syaikh Al-’Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah, dalam karya beliau Ash-Shahihul Musnad min Asbabin Nuzul (hal. 249).
Demikianlah. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi taufik kepada kita untuk selalu mencari keridhaan-Nya. Amin.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Catatan Kaki:

1 Tiga perkara ini (wanita, minyak wangi, dan shalat) dinyatakan termasuk dari dunia, maknanya: ketiganya ada di dunia. Kesimpulannya, beliau menyatakan bahwa dicintakan kepada beliau di alam ini tiga perkara, dua yang awal (wanita dan minyak wangi) termasuk perkara tabiat duniawi sedangkan yang ketiga (shalat) termasuk perkara agama. (Catatan kaki Misykatul Mashabih, 4/1957, yang diringkas dari Al-Lam’at, Abdul Haq Ad-Dahlawi)

2 HR. Ahmad (3/128, 199, 285), An-Nasa’i (no. 3939) kitab ‘Isyratun Nisa` bab Hubbun Nisa`. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain, 1/82.

3 HR. Al-Bukhari dan Muslim

4 Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terjaga dari terus berbuat dosa. Ketika beliau jatuh dalam kesalahan sebagaimana wajarnya seorang manusia, Allah Subhanahu wa Ta’ala segera menegur Nabi-Nya sebagai penjagaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada beliau. Sehingga beliau pun bertaubat dari kesalahannya.

5 Yakni Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sempat mengharamkan madu atau mengharamkan Mariyah budak beliau.

6 Dan terhadap keinginan mereka untuk menghukum istri dan anak-anak mereka, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan:

وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ

“Dan jika kalian memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni mereka maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taghabun: 14)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan mereka untuk memaafkan istri dan anak-anak mereka. (Ma‘alimut Tanzil, 4/324)

Dinukil dari: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=390

Dalam Labuhan Lembutnya Kasihmu


Penulis: Ummu Ishaq Zulfa Husein

Suami adalah nahkoda dalam bahtera rumah tangga, demikian syariat telah menetapkan. Dengan kesempurnaan hikmah-Nya, Allah ta`ala telah mengangkat suami sebagai qawwam (pemimpin).

الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلىَ النِّسَاءِ
”Kaum pria adalah qawwam bagi kaum wanita….” (An-Nisa: 34)

Suamilah yang kelak akan ditanya dan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah ta`ala tentang keluarganya, sebagaimana diberitakan oleh Rasul yang mulia shallallahu alaihi wasallam:

اَلرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْهُمْ
“Laki-laki (suami) adalah pemimpin bagi keluarganya dan kelak ia akan ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang mereka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829)

Dalam menjalankan fungsinya ini, seorang suami tidak boleh bersikap masa bodoh, keras, kaku dan kasar terhadap keluarganya. Bahkan sebaliknya, ia harus mengenakan perhiasan akhlak yang mulia, penuh kelembutan, dan kasih sayang. Meski pada dasarnya ia adalah seorang yang berwatak keras dan kaku, namun ketika berinteraksi dengan orang lain, terlebih lagi dengan istri dan anak-anaknya, ia harus bisa bersikap lunak agar mereka tidak menjauh dan berpaling. Dan sikap lemah lembut ini merupakan rahmat dari Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana kalam-Nya ketika memuji Rasul-Nya yang mulia:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظاًّ غَلِيْظَ الْقَلْبِ لاَنْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ
“Karena disebabkan rahmat Allah lah engkau dapat bersikap lemah lembut dan lunak kepada mereka. Sekiranya engkau itu adalah seorang yang kaku, keras lagi berhati kasar, tentu mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali ‘Imran: 159)

Dalam tanzil-Nya, Allah subhanahu wa ta`ala juga memerintahkan seorang suami untuk bergaul dengan istrinya dengan cara yang baik.

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang baik.” (An-Nisa: 19)

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas, menyatakan: “Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan dan penampilan kalian sesuai kadar kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat hal yang sama. Allah ta`ala berfirman dalam hal ini:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf.” (Al-Baqarah: 228)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah bersabda:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ, وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِيْ
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluargaku (istriku).”
Termasuk akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau sangat baik hubungannya dengan para istrinya. Wajahnya senantiasa berseri-seri, suka bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan istri, bersikap lembut terhadap mereka dan melapangkan mereka dalam hal nafkah serta tertawa bersama istri-istrinya. Sampai-sampai, beliau pernah mengajak ‘Aisyah Ummul Mukminin berlomba, untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau terhadapnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/477)

Masih menurut Al-Hafidz Ibnu Katsir: “(Termasuk cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam memperlakukan para istrinya secara baik) setiap malam beliau biasa mengumpulkan para istrinya di rumah istri yang mendapat giliran malam itu. Hingga terkadang pada sebagian waktu, beliau dapat makan malam bersama mereka. Setelah itu, masing-masing istrinya pun kembali ke rumah. Beliau pernah tidur bersama salah seorang istrinya dalam satu pakaian. Beliau meletakkan rida (semacam pakaian ihram bagian atas)-nya dari kedua pundaknya, dan tidur dengan kain/ sarung. Dan biasanya setelah shalat ‘Isya, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam masuk rumah dan berbincang-bincang sejenak dengan istrinya sebelum tidur guna menyenangkan mereka. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/477)

Demikian yang diperbuat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, seorang Rasul pilihan, pemimpin umat, sekaligus seorang suami dan pemimpin dalam rumah tangganya. Kita dapati petikan kisah beliau dengan keluarganya, sarat dengan kelembutan dan kemuliaan akhlak. Sementara kita diperintah untuk menjadikan beliau sebagai contoh teladan.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْراً
“Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah contoh yang baik bagi orang yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah dan hari akhir. Dan dia banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab: 21)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa`di rahimahullah berkata: “Ayat Allah ta`ala: وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
(Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang ma`ruf) meliputi pergaulan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Karena itu, sepantasnya bagi suami untuk mempergauli istrinya dengan cara yang ma`ruf, menemani dan menyertai (hari-hari bersamanya) dengan baik, menahan gangguan terhadapnya (tidak menyakitinya), mencurahkan kebaikan dan memperbagus hubungan dengannya, termasuk dalam hal ini pemberian nafkah, pakaian dan semisalnya. Dan hal ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan.” (Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 172)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri menjadikan ukuran kebaikan seseorang bila ia dapat bersikap baik terhadap istrinya. Beliau pernah bersabda:
أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنَسَائِهِمْ
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. Ahmad 2/527, At-Tirmidzi no. 1172. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/336-337)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan:
خِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنَسَائِهِمْ
karena para istri adalah makhluk Allah yang lemah sehingga sepantasnya menjadi tempat curahan kasih sayang. (Tuhfatul Ahwadzi, 4/273)

Di sisi lain, beliau shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk berhias dengan kelembutan, sebagaimana tuntunan beliau kepada istrinya Aisyah:
عَلَيْكِ بِالرِّفْقِ
“Hendaklah engkau bersikap lembut .” (Shahih, HR. Muslim no. 2594)

Dan beliau shallallahu alaihi wasallam menyatakan:

إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنَ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
“Sesungguhnya kelembutan itu tidaklah ada pada sesuatu melainkan ia akan menghiasinya (menjadikan sesuatu itu indah). Dan tidaklah dihilangkan kelembutan itu dari sesuatu melainkan akan memperjeleknya.” (Shahih, HR. Muslim no. 2594)

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي اْلأَمْرِ كُلِّهِ
“Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam segala hal.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6024)

وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لاَ يُعْطِي عَلَى سِوَاهُ
“Dan Allah memberikan kepada sikap lembut itu dengan apa yang tidak Dia berikan kepada sikap kaku/ kasar dan dengan apa yang tidak Dia berikan kepada selainnya.” (Shahih, HR. Muslim no. 2593)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Dalam hadits-hadits ini menunjukkan keutamaan sikap lemah lembut (ar-rifq dengan makna yang telah disebutkan, red) dan penekanan untuk berakhlak dengannya. Serta celaan terhadap sikap keras, kaku, dan bengis. Kelembutan merupakan sebab setiap kebaikan. Yang dimaksud dengan Allah memberikan kepada sikap lembut ini adalah Allah memberikan pahala atasnya dengan pahala yang tidak diberikan kepada selainnya.
Al-Qadhi berkata: “Maknanya dengan kebaikan tersebut akan dimudahkan tercapainya tujuan-tujuan yang diinginkan dan akan dimudahkan segala tuntutan, maksud dan tujuan yang ada. Di mana hal ini tidak dimudahkan dan tidak disediakan untuk yang selainnya.” (Syarah Shahih Muslim, 16/145)

Dalam hubungan dengan istri dan keluarga, seorang suami harus membiasakan diri dengan sifat rifq ini. Termasuk kelembutan seorang suami ialah bila ia menyempatkan untuk bercanda dan bersenda gurau dengan istrinya. Hal ini dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan istrinya sebagaimana dinukilkan di atas. ‘Aisyah radhiallahu anha menceritakan apa yang ia alami dengan suami dan kekasihnya yang mulia. Dalam sebuah safar (perjalanan), Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada para shahabatnya:
“Majulah kalian (jalan duluan)”. Maka mereka pun berjalan mendahului beliau. Lalu beliau berkata kepada ‘Aisyah (yang ketika itu masih belia dan langsing): “Ayo, kita berlomba lari”. Kata Aisyah: “Akupun berlomba bersama beliau dan akhirnya dapat mendahului beliau”. Waktupun berlalu. Ketika Aisyah telah gemuk, Rasulullah kembali mengajaknya berlomba dalam satu safar yang beliau lakukan bersama ‘Aisyah. Beliau bersabda kepada para shahabatnya: “Majulah kalian”. Maka mereka pun mendahului beliau. Lalu beliau berkata kepadaku: “Ayo, kita berlomba lari”. Kata ‘Aisyah: “Aku berusaha mendahului beliau namun beliau dapat mengalahkanku”. Mendapatkan hal itu, beliau pun tertawa seraya berkata: “Ini sebagai balasan lomba yang lalu (kedudukannya seri, red).” (HR. Abu Dawud no. 2214. Asy-Syaikh Muqbil menshahihkan sanad hadits ini dalam takhrij beliau terhadap Tafsir Ibnu Katsir, 2/286).

Allah ta`ala Yang Maha Adil menciptakan wanita dengan segala kekurangan dan kelemahannya. Ia butuh dibimbing dan diluruskan karena ia merupakan makhluk yang diciptakan dari tulang yang bengkok. Namun meluruskannya butuh kelembutan dan kesabaran agar ia tidak patah.

المرْأَةُ كَالضِّلَعِ إِنْ أَقَمْتَهَا كَسَرْتَهَا, وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اِسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيْهَا عِوَجٌ

“Wanita itu seperti tulang rusuk, bila engkau meluruskannya engkau akan mematahkannya. Dan bila engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau dapat bersenang-senang dengannya namun pada dirinya ada kebengkokan.”Demikian disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya (no. 5184) dan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya (no. 1468). Dan hadits ini diberi judul bab oleh Al-Imam Al-Bukhari dengan bab Al-Mudarah ma`an Nisa (Bersikap baik, ramah dan lemah lembut terhadap para istri).
Rasul yang mulia, shallallahu ‘alaihi wasallam, juga bersabda:

وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاهُ, فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ, وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
“Berwasiatlah kalian kepada para wanita (istri) karena mereka itu diciptakan dari tulang rusuk. Dan bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian yang paling atas. Bila engkau paksakan untuk meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Namun bila engkau biarkan begitu saja (tidak engkau luruskan) maka dia akan terus menerus bengkok. Karena itu berwasiatlah kalian kepada para wanita (istri).” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5186 dan Muslim no. 1468)

Dalam riwayat Muslim disebutkan:
وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ وَكَسْرُهَا طَلاقُهَا
“Dan bila engkau paksakan untuk meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Dan patahnya adalah dengan menceraikannya.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah berkata: “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (فَاسْتَوْصُوْا) maksudnya adalah aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik dengan para wanita (istri). Maka terimalah wasiatku ini berkenaan dengan diri mereka, dan amalkanlah.”
Beliau melanjutkan: “Dan dalam sabda Nabi (بِالنِّسَاءِ خَيْرًا ) seakan-akan ada isyarat agar suami meluruskan istrinya dengan lembut, tidak berlebih-lebihan hingga mematahkannya. Dan tidak pula membiarkannya hingga ia terus menerus di atas kebengkokannya.” (Fathul Bari, 9/306)

Dalam hadits ini juga ada beberapa faidah, di antaranya disukai untuk bersikap baik dan lemah lembut terhadap istri untuk menyenangkan hatinya, Di dalam hadits ini juga menunjukkan bagaimana mendidik wanita dengan memaafkan dan bersabar atas kebengkokan mereka. Siapa yang tidak berupaya meluruskan mereka (dengan cara yang halus), dia tidak akan dapat mengambil manfaat darinya. Padahal, tidak ada seorang pun yang tidak butuh dengan wanita untuk mendapatkan ketenangan bersamanya dan membantu dalam kehidupannya. Hingga seakan-akan Nabi mengatakan: “Merasakan kenikmatan dengan istri tidak akan sempurna kecuali dengan bersabar terhadapnya”. Dan satu faidah lagi yang tidak boleh diabaikan adalah tidak disenangi bagi seorang suami untuk menceraikan istrinya tanpa sebab yang jelas. (Lihat Fathul Bari, 9/306, Syarah Shahih Muslim, 10/57)

Dengan adanya tuntunan beliau di atas, seyogyanya seorang suami menjalankan tugasnya sebagai pemimpin dengan penuh kelembutan dan kasih sayang kepada istri dan keluarganya yang lain. Sebagaimana istrinya pun diperintah untuk taat kepadanya dalam perkara yang baik, sehingga akan terwujud ketenangan di antara keduanya dan abadilah ikatan cinta dan kasih sayang.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِتَسْكُنُوْا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian istri-istri (pasangan hidup) dari jenis kalian agar kalian merasakan ketenangan bersamanya dan Dia menjadikan cinta dan kasih sayang di antara kalian.” (Ar-Rum: 21)

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا
“Dialah yang menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan Dia menjadikan pasangan dari jiwa yang satu itu, agar jiwa tersebut merasa tenang bersamanya.” (Al-A`raf: 189)

Demikian kemuliaan dan kelembutan Islam yang menuntut pengamalan dari kita sebagai insan yang mengaku tunduk kepada aturan Ilahi. Wallahu ta`ala a`lam bish-shawab.

Dinukil dari: http://asysyariah.com/print.php?id_online=158