Shalat Ghaib


Tanya:

Syawal, on Februari 27, 2011 at 11:06 amsaid:

Bismillah

Apa yang harus dilakukan dan hukumnya apabila dikabarkan kita didalam masjid setelah sholat fardhu bahwa ada seorang muslim atau keluarga dari si fulan yang telah meninggal dunia setelah itu dari imam masjid mengajak kita untuk sholat Gaib untuk si mayit tersebut…????

Apakah cukup bagi saya mengucapkan Innalillahi wa inna ilahi rhojihun dan tidak ikut untuk sholat gaib

Mohon petunjuknya Ustadz

Jazakumullah khoiran

Jawab:

Jika ada yang meninggal di suatu negeri dan ternyata tidak ada orang
yang menshalatinya, maka hendaklah sekelompok kaum muslimin menshalatinya secara gaib. Namun jika selama ada yang menshalatinya, maka tak perlu untuk dishalati secara gaib. Sebab, dalam keadaan demikian telah gugur hak kewajiban kaum muslimin untuk menshalatinya.
Di dalam kitab Ahkaamul Janaa’iz wa Bida’uhaa, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani menerangkan :Barangsiapa yang meninggal di suatu negeri dan ternyata tidak ada orang yang menshalatinya, maka hendaklah sekelompok kaum muslimin menshalatinya secara gaib.

Tapi ada pendapat lain yang mengatakan, “Bukanlah merupakan sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan shalat gaib. Sebab terbukti telah banyak dari kalangan muslimin yang meninggal di negeri lain, namun beliau tidak menshalatinya. Memang benar ada riwayat yang menyatakan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menshalati secara gaib raja Habasyah”. Dan mengenai hal ini muncul tiga pendapat para ulama.

[1] Riwayat tersebut merupakan aturan syariat sekaligus sunnah bagi umat
Muhammad untuk melakukan shalat gaib bagi setiap muslim yang meninggal di
negeri asing. Pendapat inilah yang dipahami Asy-Syafi’i dan Ahmad.

[2] Sementara Abu Hanifah dan Malik menyatakan bahwa kasus tersebut bersifat khusus, dan bukan merupakan aturan pensyariatan bagi yang lain.

[3] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Yang benar adalah
dilaksanakannya shalat gaib apabila ada seorang muslim yang meninggal di
tempat (negeri) yang tidak ada orang yang menshalatinya. Ini seperti yang
dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menshalati An-Najasyi,
karena ia meninggal di lingkungan masyarakat kafir sehingga tidak ada yang
menshalatinya. Namun meski seseorang meninggal di negeri yang penduduknya kafir, selama ada yang menshalatinya, maka tak perlu untuk dishalati secara gaib. Sebab, dalam keadaan demikian telah gugur hak kewajiban kaum muslimin untuk menshalatinya. Dalam hal ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukannya dan sering meninggalkannya. Sedangkan yang makruf, apa pun yang dilakukan oleh Nabi adalah sunnah, baik menjalankan maupun meninggalkannya”. Mengenai hal ini akan dibahas dalam kesempatan yang lain, Wallahu a’lam.

Ketiga pendapat tersebut terangkum seluruhnya dalam pendapat madzhab Ahmad. Inilah pendapat yang paling shahih.

Sementara itu, yang menjadi pilihan bagi sebagian peneliti di kalangan
madzhab Syafi’i adalah seperti yang saya kemukakan berikut. Al-Khitabi
mengatakan di dalam Ma’alimus-Sunnah, “An-Najasyi adalah seorang muslim.
Dia telah beriman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
membenarkan kenabiannya. Hanya saja ia merahasiakan ke-Islamannya. Dan
apabila seorang muslim meninggal maka wajib bagi kaum muslim lain
menshalatinya. Termasuk bila orang yang mati itu berada di tengah-tengah
masyarakat kafir dan tidak ada yang menshalatinya. Oleh karena itu,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharuskan dirinya untuk
menshalatinya, di samping beliau sebagai Nabi dan panutan bagi umatnya juga
karena beliau adalah walinya dan lebih berhak atas mereka” Dan ini, wallahu
a’lam, barangkali yang menyebabkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukan dan menganjurkan untuk menshalati mayit secara gaib.

Atas dasar inilah, apabila seorang muslim meninggal di suatu negeri dan
telah dishalati oleh sejumlah penduduk setempat maka tak ada keharusan bagi
penduduk negeri yang lain menshalatinya secara gaib. Terkecuali, jika
diketahui di negeri tempat orang meninggal itu tidak ada orang yang
menshalatinya atau karena adanya suatu halangan, maka merupakan ajaran
As-Sunnah untuk menshalatinya sekalipun jaraknya sangat jauh.

Ar-Ruyani -salah seorang ulama besar madzhab Syafi’i- telah menyatakan
dukungan dan kesepakatannya terhadap Al-Khithabi. Demikialah dengan Daud, ia berpendapat sama dengan kedua ulama itu sehingga dalam kitab Sunnah-nya ia telah membuat bab tersendiri dengan judul , “Bab Menshalati Muslim yang Meninggal di Bumi Musyrik”. Pendapat ini juga telah menjadi pilihan peneliti dari kalangan ulama kontemporer, yakni Al-Allamah Asy-Syaikh Shalih Al-Maqbali, seperti dituturkan Asy-Syaukani di dalam Naulul Authar, dan menyandarkan pedapatnya dengan berbagai riwayat tambahan lewat banyak jalur sanad hadits, “Sesungguhnya saudara kalian telah meninggal bukan di negeri kalian, maka dari itu marilah kita bersama-sama menshalatinya” Riwayat ini sanadnya sesuai persyaratan Syaikhain.

Sebaliknya, kita temui pendapat yang mendukung tidak disyariatkannya
melakukan shalat ghaib setiap ada seseorang meninggal. Mereka beralasan
bahwa ketika para Khalifah as-Rasyidin meninggal, juga yang lainnya, kaum
muslimin tidak melakukan shalat gaib atas mereka. Kalau saja mereka
melakukan shalat gaib, pastilah akan diriwayatkan kepada kita lewat
pemberitaan yang mutawatir. Kenyataan sebaliknya adalah apa yang banyak
dilakukan kaum muslimin di masa sekarang, yang sering melakukan shalat gaib
bagi setiap orang yang meninggal di tempat lain. Terlebih lagi bila yang
mati itu orang yang terpandang atau mempunyai kedudukan. Padahal, boleh
jadi, mereka hanya bersandar pada kenyataan bahwa misalnya yang mati adalah seorang politikus yang tidak diketahui sejauh mana pengabdiannya bagi kepentingan Islam dan kaum muslimin. Atau sekalipun orang itu meninggal di Tanah Haram, yang dishalati oleh ribuah muslimin di hadapan Ka’bah (misalnya meninggal pada musim haji, penj). Dari kenyataan ini dapatlah dipastikan akan bid’ahnya apa yang dilakukan kebanyakan orang di masa kini yang sangat jauh menyalahi dan menyimpang dari ajaran As-Sunnah serta apa yang dilakukan kaum salaf, radhiyallahu anhum ajma’in.

Demikian penjelasan Syaikh Al Albani rahimahullah. barakallahufiik

Dinukil dari: http://atsarussalaf.wordpress.com/tanya-jawab/

Tinggalkan komentar